Kisah Pemuda Penyelamat Hutan yang Memberikan Harapan Baru bagi Pembalak Liar

Lima tahun yang lalu, Hutan Gamaran, Padang Pariaman, Sumatera Barat menjadi lahan empuk bagi para pembalak liar. Hampir 15 sampai dengan 20 gelondongan kayu hutan ditebang setiap harinya oleh para pembalak liar yang juga merupakan warga sekitar.

Beruntung saat itu ada seorang pemuda yang sadar bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan hutan yang menjadi kampung halamannya. Setelah waktu berlalu, kini para pembalak liar itu beralih profesi menjadi pemandu wisata dan memiliki hidup yang lebih layak tanpa harus merusak hutan.

Pemuda itu kini berada di depanku ketika kami bersama-sama terlibat dalam aksi menanam 1.000 pohon di desa Cijedil, Cugenang, Cianjur bersama Astra, 19 Desember 2017 silam. Pemuda dengan perawakan tinggi tegap itu menyingsingkan lengan bajunya untuk ikut menanam beberapa bibit manggis yang sudah disediakan oleh para petani yang menjadi mitra Astra.

Tanpa dikomando, ia langsung mencari bibit sendiri dan meminjam cangkul kecil kepada ibu-ibu petani yang turut serta membantu para peserta aksi tanam 1.000 pohon yang diikuti oleh beberapa awak media dan blogger. Pemuda berkulit sawo matang itu pun tersenyum ketika kuhampiri. Kemudian aku mengajaknya berbincang sedikit tentang perannya menjadikan hutan Gamaran sebagai salah satu destinasi ekowisata terbaik di Padang Pariaman.

Sambil mengayunkan cangkulnya di tengah hamparan perkebunan hijau di bawah rintik hujan, dengan senyum mengembang, pemuda itu mulai bercerita kisah dan perjuangannya membujuk para tetua dan tokoh masyarakat untuk mewujudkan mimpinya. Mimpi seorang sarjana pertanian yang kerap kali dianggap “mangkir” dari kompetensinya sehingga berkarir di sebuah bank serta bilik-bilik dingin perkantoran ibu kota.

Meskipun keluarga dan orang tuanya mengharapkan ia bekerja layaknya para sarjana lain di kota besar. Ia tetap bergeming dan bersikukuh dengan mimpinya. Ia melihat banyak potensi hutan Gamaran yang bisa diolah menjadi destinasi wisata menarik bagi warga kota yang terlalu sibuk mencari uang. Pun tujuan dibalik itu semua adalah rasa prihatin terhadap kondisi hutan Gamaran yang sedikit demi sedikit habis karena pohon-pohon berusia, ditebang demi menghidupi keluarga para pembalak liar.

Anak muda berusia 31 tahun itu kemudian memulai kisahnya tentang strateginya agar para pembalak liar itu mau mendengarkan dan membantu mewujudkan mimpinya.

“Saya membujuk ninik mamak agar mau mendukung rencana saya membuka ekowisata di hutan Gamaran. Melalui para tetua dan tokoh masyarakat itulah saya bisa mengajak 25 orang pembalak liar untuk alih profesi menjadi seorang pemandu wisata.” tuturnya dengan sorot mata berbinar.

Setelah menyelesaikan menanam bibit manggis keduanya, ia kemudian memberikan cangkul kecil itu kepada orang lain yang membutuhkannya. Kemudian kami pun melanjutkan cerita yang sempat terhenti.

“Sekitar tahun 2012, saya pulang kampung dan merasa terpanggil. Soalnya saat itu hampir setiap hari ada 15 sampai dengan 20 balok kayu dihanyutkan di sungai keluar dari hutan Gamaran. Kayu yang ditebang pun bukan sembarang kayu, diameternya hampir lebih besar daripada tubuh orang dewasa sekalipun” tuturnya bercerita dengan mata nanar.

Aku terperangah dan merasa heran bagaimana mungkin seorang lulusan Universitas bergengsi di Indonesia, mau pulang kampung demi sesuatu hal yang sulit untuk ditaklukkan. Apalagi yang dihadapinya berkaitan dengan dapur orang lain. Para pembalak liar itu pasti akan merasa terusik jika mata pencahariannya hilang.

Namun, nampaknya ia paham. Pemuda bernama Ritno Kurniawan ini malah ingin memberikan pemahaman bahwa para pembalak liar itu bisa mendapatkan mata pencaharian yang lebih baik dibandingkan selalu bergantung pada hutan yang akan habis jika terus menerus dibabat tanpa melakukan konservasi dan reboisasi sehingga keseimbangan hutan bisa terjaga.

Selama ini para pembalak liar itu hanya sibuk dengan dapurnya sendiri. Mereka tak pernah peduli jika dunia ini amat bergantung pada hutan di Indonesia. Indonesia dikenal sebagai jantungnya dunia. Apa jadinya jika jantung dunia ini tersumbat sehingga terjadi mal fungsi?

Namun sebaliknya, terkadang dunia pun tak pernah mau tahu bagaimana menghidupi para pembalak liar yang terlanjur bergantung pada hutan adat yang menjadi sumber penghidupan mereka secara turun-temurun. Pemerintah dan lembaga konservasi kurang menyentuh akar permasalahan bahwa mereka, para pembalak liar, butuh biaya hidup, kesehatan, pendidikan dan susu anak-anaknya. Meskipun dalam hati kecil mereka berharap agar generasi selanjutnya tidak mengikuti apa yang mereka lakukan saat ini.

Ritno bercerita bahwa ia mengalami perjuangan yang tak mudah pada awal membentuk LA Adventure (Lubuk Alung Adventure). Bahkan ia tak pernah lepas dari ancaman dan intimidasi para cukong-cukong yang selama ini berada di balik perusakan hutan. Cukong-cukong itu tak mau mengurus izin dan memanfaatkan kelemahan para pembalak liar yang merupakan warga sekitar.

Ironis, para cukong-cukong tersebut bisa mendapatkan miliaran rupiah dari kayu-kayu maranti dan banio gelondongan yang ditebang. Sementara para pembalak liar hanya bisa membawa pulang beberapa ratus ribu rupiah saja. Namun, persoalan perut memang tak ada yang mau mengusik. Bisa-bisa Ritno malah berhadapan dengan ayunan kapak dan parang para pembalak liar.

“Awalnya memang tidak mudah. Namun akhirnya saya bisa mengajak sekitar 25 orang dan mendapatkan dukungan dari para tokoh masyarakat. Kini, para pembalak liar itu malah bisa mendapatkan uang lebih banyak dari hasil menjadi pemandu wisata. Mereka juga bisa mendapatkan komisi jika bisa mendapatkan konsumen sehingga mereka bisa mendapatkan banyak tambahan selain dari memandu para wisatawan.” ungkap Ritno.

Dengan sejumlah orang yang ada, Ritno pun mengajari para mantan pembalak liar itu bagaimana caranya berinteraksi dengan wisatawan. Ritno sadar bahwa konsumen mereka adalah raja. Ritno menekankan agar para pemandu wisatanya bisa memberikan servis terbaik.

“Kalau servis memuaskan, mereka akan bercerita pada orang lain. Sebaliknya jika servis mengecewakan mereka juga akan bercerita pada orang yang lebih banyak.” tutur Ritno meyakinkan para pemandu wisata betapa pentingnya sebuah pelayanan.

***

Menurut sebuah pemberitaan online, tanah memang menjadi salah satu sumber dasar konflik diantara para pemangku kepentingan terutama pemerintah dan juga masyarakat lokal. Kerap kali konflik tersebut tidak terlepas dari status penetapan wilayah adat atau kawasan hutan yang dilindungi oleh negara. Belum lagi konflik lain yang berhubungan dengan warga pendatang, transmigran, elit politik, calo tanah hingga pemegang izin pertambangan dan perkebunan.

Kerap kali pendekatan pemerintah selalu menghadapi jalan buntu. Beberapa warga yang menganggap hutan adat adalah milik nenek moyang yang bisa dimanfaatkan oleh mereka justru kerap berakhir dalam kursi pesakitan. Mereka menjadi korban dan menjadi terpidana meskipun apa yang dilakukan hanya untuk bertahan hidup. Persoalan tersebut seolah buntu.

Percakapan kami terhenti sejenak. Para rekan jurnalis dan blogger pun diajak melihat salah satu Desa Binaan Astra di Desa Sarongge, Kabupaten Cianjur, yang kini salah satu tempat wisata edukasi pengolahan pangan dan menjadi penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Dimulai pada tahun 2008, Astra telah menanam sebanyak 4.501.512 pohon di beberapa wilayah di seluruh wilayah Indonesia termasuk di daerah Cianjur meliputi Desa Sarongge, Desa Tunggilis, Batu Kasur dan terakhir pada tahun 2017 di Cijedil, Cugenang, Cianjur.

Kegiatan tersebut menjadi bagian dari salah satu pilar kegiatan kontribusi sosial (corporate social responsibility/CSR) Astra melalui 4 bidang, yakni Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan dan Usaha Kecil & Menengah (UKM).

Ekowisata sebagai Solusi

Setelah rehat makan siang dan bermain gim bersama rekan-rekan wartawan dan blogger, Ritno pun melanjutkan kisahnya dengan bersemangat di hadapan sejumlah jurnalis dan blogger.  Merekalah yang akan turut menyebarkan kabar baik dan suksesi Ritno dengan komunitasnya memberikan solusi terhadap pengelolaan hutan dengan alternatif membuka ekowisata yang bernilai ekonomi bagi warga sekitar.

Inilah yang ditawarkan oleh Ritno Kurniawan kepada para pembalak liar. Ia meyakinkan bahwa mereka akan mendapatkan pendapatan yang sama bahkan lebih baik dari sebelumnya, meskipun prosesnya tidak instan.

Akhirnya dengan modal Rp 100 ribu. Ritno mendapatkan 5 orang wisatawan pertamanya. Modal tersebut berasal dari biaya Rp 20 ribu yang dibayarkan oleh masing-masing wisatawan pertamanya.

Modal itulah yang menjadi cikal bakal dibukanya ekowisata di hutan Gamaran, Padang Pariaman, Sumatera Barat yang luasnya mencapai kurang lebih 500 hektar. Ritno yakin bahwa ia bisa menyelamatkan hutan dengan membuka wisata konservasi alam.

Ia merasa yakin bahwa ekowisata yang dipasarkannya pasti ada peminatnya. Apalagi ia sangat yakin bahwa keindahan Air Terjun Nyarai, termasuk salah satu obyek wisata yang bisa dijual dari paket-paket wisata yang kini sudah lebih bervariasi dan beragam.

Air Terjun Nyarai
Foto: Ritno Kurniawan

Dengan kekuatan marketing dari mulut ke mulut dan mengoptimalkan kekuatan media sosial, Ritno pun mendulang sukses. Ia berhasil membuat hutan Gamaran menjadi obyek ekowisata pilihan di Padang Pariaman. Kini, hampir setiap bulan Ritno dan para pemandu wisata bisa menjaring sekitar 1.500 sampai dengan 2.000 wisatawan.

“Kunjungan paling tinggi itu terjadi pada tahun 2014. Tepat dua tahun setelah kami membuka ekowisata di Hutan Gamaran. Pada tahun itu, kami berhasil mendatangkan 80 ribu wisatawan, mengajak mereka melihat keindahan hutan Gamaran yang masih perawan dengan surga wisata di dalamnya” kisah Ritno berapi-api.

Ia sangat yakin bahwa masih banyak orang yang senang trekking sejauh 5.3 kilometer menyusuri hutan Gamaran. Apalagi mereka bisa menemukan beberapa flora dan fauna endemik seperti tapir, burung kuau, harimau Sumatera, hingga bunga Reflesia. Selain Air Terjun Nyarai, Hutan Gamaran yang masih perawan ini juga memiliki beberapa surga seperti Goa Ngalau yang terdapat air terjun di dalamnya dengan ketinggian sekitar 10 meter.

Hebatnya lagi, Ritno berhasil mendirikan LA Adventure bersama-sama hingga mendulang sukses. Ritno memang berniat tak ingin sukses sendirian. Ia berharap bisa memberikan penghidupan yang layak bagi para pembalak liar dan meninggalkan profesi lamanya. Ide sederhana dengan membuka ekowisata dengan modal pas-pasan ternyata membuahkan hasil yang nyata dan berdampak sangat besar bagi kehidupan warga sekitar.

Aku benar-benar terpana dengan kisah perjuangan Ritno membangun ekowisata di Lubuk Alung, Gamaran, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ia merangkul semua elemen masyarakat untuk membangun mimpinya menyelamatkan hutan.

Aku merasa beruntung karena bisa bertemu Ritno langsung dan mendengarkan kisahnya memberdayakan para pembalak liar dan memberikan solusi nyata sehingga mereka mau meninggalkan pekerjaan lamanya.

Ritno Kurniawan di Air Terjun Nyarai Padang Pariaman
Ritno Kurniawan bersama rekan-rekan pemandu wisata yang lain (jalanjalanyuk.com)

Ritno berkisah, banyak warga yang memang memilih profesi sebagai pembalak liar karena keadaan. Mereka kurang pendidikan dan terperangkap dalam jurang kemiskinan. Tak ada pilihan bagi mereka selain tetap bertahan meskipun harus menebang hutan.

Perjuangan Ritno memang belum berhenti. Ia bertutur bahwa saat ini masih ada beberapa orang pembalak liar yang masih bertahan dengan profesi lamanya. Inilah tantangan yang masih dihadapi Ritno. Namun, setidaknya Ritno sudah berbuat untuk masa depan Hutan Gamaran yang lebih baik.

“Sekarang paling hanya sebagian kecil saja yang membabat hutan. Paling-paling hanya satu dua gelondongan pohon yang keluar dari hutan Gamaran. Kondisinya saat ini sudah jauh berbeda dibandingkan dengan 5 tahun yang lalu.” ujar Ritno.

Aku terpekur mendengar kisah sukses Ritno menyelamatkan hutan. Aku berpikir jika ada 10 orang seperti Ritno di masing-masing provinsi, tentu akan semakin banyak hutan yang bisa diselamatkan. Tentu akan semakin banyak orang yang bahagia karena bisa melihat flora dan fauna endemik di habitat aslinya.  Tentu akan semakin banyak konflik-konflik tanah adat yang bisa diselesaikan dengan cara yang saling menguntungkan.

Ritno berhasil memberikan pemahaman pada warga bahwa kehidupan hutan bukan hanya bermanfaat bagi keberlangsungan hidup mereka kelak, namun juga kelestariannya sangat dibutuhkan oleh banyak orang, juga menjaga habitat flora dan fauna endemik agar tidak terancam dari kepunahan.

Sosok Ritno adalah sosok yang amat langka. Ia berhasil menghadirkan solusi dan menambah nilai ekonomi kehidupan para pemandu wisata. Dulu, saat masih melakukan penebangan, mereka hanya mampu mendapatkan Rp 100 ribu sampai dengan Rp 150 ribu perminggu. Namun, kini kehidupan mereka berubah. Dengan menjadi pemandu wisata mereka bisa membawa pulang Rp 50 ribu sampai dengan Rp 80 ribu perhari.

“Saat ini bahkan sudah banyak berdiri warung. Dulu hanya beberapa warung saja yang ada. Setelah saya hitung-hitung, ternyata sekarang kurang lebih sudah ada 20 warung yang berdiri di sekitar base camp LA Adventure.” tambahnya.

Secara tidak langsung, Ritno kini mengangkat kehidupan ekonomi warga Lubuk Alung yang dulunya amat bergantung pada Hutan Gamaran. Keajaiban-keajaiban kecil yang dibawa Ritno memang memberikan secercah harapan baru bagi para pembalak liar. Mereka kini makin menyadari betapa pentingnya kelestarian hutan demi masa depan.

Ritno bukan hanya membawa perubahan, tapi juga berhasil mengubah paradigma para pembalak liar. Selain itu, ia juga berhasil mengangkat kehidupan ekonomi para mantan pembalak liar.

“Kini yang tadinya hanya berjumlah 25 orang, sudah bertambah lagi anggota kami menjadi 170 orang. Dan umumnya mereka merupakan mantan pembalak liar di Hutan Gamaran, Padang Pariaman.” ujar Ritno berapi-api.

Dengan semakin banyaknya kunjungan wisatawan, Ritno pun memutar otak untuk membuat paket-paket wisata sebagai salah satu cara diversifikasi.  LA Adventure mulai membangun Camping Site hingga wisata menembak Unagi dengan alat tradisional. Aktivitas di alam inilah yang paling banyak dipilih oleh wisatawan asing.

Bahkan, rencananya pemerintah daerah akan memberikan bantuan sebesar 1 miliar untuk membangun sebuah bangunan yang lebih layak untuk base camp LA Adventure.  Pemerintah daerah melihat bahwa wisata trekking minat khusus di Lubuak Nyarai, Hutan Gamaran ini memiliki potensi wisata di Kabupaten Padang Pariaman. Kepercayaan dari pemerintah itulah yang akan digenggam oleh Ritno dan kawan-kawan agar apa yang sudah mereka jalankan selama ini bisa berlanjut demi menjaga kelestarian hutan Gamaran.

Dengan prestasi Ritno dan komunitas LA Adventurenya, pantas jika ia mendapatkan penghargaan dalam bidang lingkungan, Satu Indonesia Awards 2017. Ritno berhasil menjadi salah satu penerima penghargaan dari seleksi yang dilakukan diantara 82 penerima tingkat provinsi lainnya di Indonesia.

Astra memberikan apresiasi pada sosok sepeti Ritno yang mau melakukan perubahan yang memiliki dampak luas dan berkelanjutan. Ritno dianggap memiliki kontribusi positif terhadap lingkungan dan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Ritno memang pantas menjadi salah satu penerima penghargaan diantara 3.234 orang yang mendaftar dalam ajang SATU Indonesia Awards 2017.

20 thoughts on “Kisah Pemuda Penyelamat Hutan yang Memberikan Harapan Baru bagi Pembalak Liar”

    • Betul mbak, kebetulan bisa langsung ngobrol dan tanya-tanya. Ternyata kuncinya melibatkan semua orang termasuk para tetua atau tokoh masyarakat di lingkungan sekitar meskipun perjalanan awalnya tidak mudah.

    • “Berikan aku sepuluh Mas Ritno maka kita akan menghentikan global warming”
      ini epic banget sih, kalau ada pasti hutan kita bisa lebih terjaga ya.

  1. Hutan dan isinya akan lebih bermanfaat jauh lebih banyak jika dijaga dan dilestarikan, Mas Ritno membuktikannya, semoga semakin banyak orang seperti beliau, semoga juga pemerintah semakin sadar dan peduli akar masalah nya seperti yg diungkap tulisan ini, inspiratif.

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.