Libur panjang selama tiga hari yang lalu saya manfaatkan untuk rekreasi bersama anak dan istri. Mulai dari mengunjungi Masjid Istiqlal, Jakarta hingga melihat Rusa di Istana Bogor. Semuanya memang memang serba tidak terencana. Tempat-tempat rekreasi itu spontan saja muncul di kepala. Selain mengunjungi beberapa tempat, rasanya belum tepat juga jika tidak mencicipi kuliner nusantara. Mulai dari Es Krim Ragusa hingga Soto Mie Bogor.
Hari Pertama (29 Maret 2013)
Hari pertama ini sebetulnya lebih cocok di gunakan sebagai hari awal penjelajahan. Sayang sekali ternyata rumah berantakan, sampah numpuk, cucian juga ngahuyud (Bahasa Sunda: Numpuk). Akhirnya saya berdua bagi-bagi tugas. Istri saya membersihkan bagian dalam rumah sambil mencuci pakaian sedangkan saya membersihkan bagian luar sambil membakar sampah-sampah yang sudah menumpuk. Anak saya bebas berkeliaran kesana kemari. Kadang bisa kedalam melihat ibunya atau keluar membantu bapaknya yang sedang menyapu halaman.
Karena kami semua sudah terlalu lelah akhirnya ketiduran sampai menjelang ashar. Untunglah sikecil sudah sarapan dan makan siang lebih awal. Sedangkan saya berdua hanya sempat sarapan dan lupa makan siang. Setelah salat dan mandi akhirnya saya membawa anak saya jalan-jalan di pasar kaget sekitar rumah.
Pasar keget ini ibarat berkah bagi pedagang dan pembeli. Semua ada di pasar kaget. Sementara anak saya sudah merengek minta naik ke sebuah kereta mainan setelah itu menaiki odong-odong. Puas bermain kemudian kami berdua pulang. Yaa saya hanya mengajak anak saya. Sedangkan istri saya gosok baju di rumah.
Tidak banyak memang yang kami lakukan pada hari pertama. Jadwalnya hanya beberes rumah supaya ketika ditinggalkan bisa bebas dari segala tugas bebersih rumah.
Hari Kedua (30 Maret 2013)
Wah ternyata cucian tidak cukup di cuci sehari. Hari kedua istri saya masih juga berjibaku dengan tumpukan cucian. Kloter kedua katanya tersenyum kecut. Sementara saya menemani anak saya bermain. Kadang anak saya yang menemani saya bermain tablet hehehe
Setelah tidur siang (hal yang tidak mungkin di lakukan di hari kerja) saya mengajak anak saya untuk mandi. Rencananya sore itu saya akan mengajak anak saya ke Masjid Istiqlal. Setelah semuanya siap, kami bertiga meluncur menggunakan sepeda motor. Anak saya ternyata tidur lagi selama perjalanan. Ketika berangkat memang cuacanya cukup panas. Tapi makin sore cuaca makin adem.
Sebelum ke Masjid Istiqlal saya singgah dulu untuk mencoba Es Krim Ragusa yang konon sudah berjualan sejak tahun 1932.
Di depan toko ternyata ada tukang sate dan tukang asinan. Duh jadi bikin ngiler aja. Ternyata yang datang cukup banyak sampai menimbulkan antrian. Suasana panas memang menyelimuti ruangan karena penuh sesak dengan para pelanggan. Mencari tempat duduk pun agak sulit dilakukan. Kecuali harus rela mengunggu giliran sampai orang lain menghabiskan tetes es krim terakhirnya.
Saya sendiri memesan Banana Split seharga tiga puluh ribu rupiah. Biar gak penasaran saya beli yang mahal sekalian. Gitu pikir saya. Sedangkan istri saya memesan Vanilla beserta Orange Juice. Total yang di habiskan di Es Krim Ragusa sebesar lima puluh tujuh ribu rupiah. Wah lumayan juga yah hanya untuk sekedar jajan es krim. Meskipun sensasinya terasa old fashioned tapi rasa es krimnya memang bikin ngiler. Cuma sayang, saya merasakan rasa-rasa pahit pada pisangnya. Jadi rasanya kurang nonjok gitu lah.
Selesai menikmati es krim kemudian kami langsung loncat ke Masjid Istiqlal yang hanya di pisahkan sebuah kali dari toko Es Krim Ragusa. Sedikit masuk kedalam tinggal parkir di tempat parkir motor. Satu kali parkir kena lima ribu rupiah.
Banyak hal yang perlu di perhatikan saat masuk Masjid Istiqlal. Salah satunya adalah sandal atau sepatu. Jangan ragu untuk menitipkannya ke tempat penitipan sepatu dan sandal. Karena alih-alih bisa khusuk dalam beribadah, malah bisa membuat kita was-was dengan kondisi alas kaki kita.
Pemandangan yang cukup mencolok memang tempat wudhu. Tempat wudhu khusus pria ternyata di pake bareng juga sama wanita. Entah kenapa, mungkin karena tempat wudhu wanita agak jauh kedalam sehingga para wanita malas untuk jalan kaki lebih jauh lagi.
Setelah wudhu kemudian saya naik ke Masjid. Para wanita tak perlu khawatir jika tidak membawa mukena, karena mukena disediakan oleh pengelola dengan imbalan memberikan infaq. Hitung-hitung alam untuk ongkos cuci mukena.
Karena Masjid Istiqlal sangat besar jadi shaf ada pembatasnya. Tidak digunakan selebar gedung. Tapi di sediakan penghalang agar shaf lebih banyak ke belakang dan bukan lebih panjang ke samping. Ada petugas yang sengaja tidak ikut salat jamaah untuk mengatur jamaah yang datang. Padahal rasanya gak perlu sampai begitu yaa. Entahlah, saya juga kurang tahu kondisi sehari-hari di Istiqlal. Yang jelas beberapa satpam dan pengatur shaf agak menganggu pikiran saya.
Setelah sholat kemudian saya sempat berfoto-foto bersama si kecil di ruang utama masjid. Mungkin karena masih kecil, jadi anak saya biasa aja pas di bawa masuk ke bangunan yang sangat besar itu. Layaknya anak-anak di senang bisa berlari kesana-kemari.
Setelah itu kemudian tibalah waktunya mengunjungi Monas pada malam hari. Sebelum masuk, ada beberapa aneka penjual makanan dan minuman. Mulai dari Mie Ayam, Nasi Goreng hingga Soto Ayam. Rerata penjualnya berasal dari Madura. Logat mereka sangat kental sekali. Saya sempatkan menyuapi si kecil dengan semangkuk Soto Ayam. Harganya cukup reasonable untuk ukuran Jakarta. Sepuluh ribu rupiah tanpa nasi. Jika ingin di tambah nasi tinggal menambahkan lima ribu rupiah.
Setelah menyuapi si kecil barulah saya masuk ke area Monas. Lagi-lagi banyak pedagang kaki lima yang menjajakan barang dagangannya di tengah kegelapan dengan penerangan seadaanya. Mulai dari kaus hingga hiasan Monas yang bisa menyala. Saya kurang tertarik untuk melihat-lihat dagangan.
Banyak hal yang absrud saya temui di dalam. Yang pertama saya sangat menyayangkan rusaknya air mancur goyang. Menurut pedagang yang saya tanya, ternyata air mancur goyang itu sudah sejak lama rusak. Padahal salah satu daya tarik monas adalah air mancur goyang. Saya berharap pak Jokowi bisa memperbaiki air mancur ini agar anak-anak bisa menikmatinya kembali.
Kemudian saya melihat ada beberapa motor yang berseliweran di dalam area monas. Padahal banyak sekali pejalan kaki baik itu anak-anak maupun orang tua yang menggunakan monas sebagai area terbuka khusus pejalan kaki di saat malam hari. Saya maklum jika yang mengendarai motor adalah petugas yang sedang patroli. Tapi saya merasa keberatan ketika ada beberapa klub motor yang masuk area monas dan memarkir motornya di dalam. Belum lagi beberapa pedagang yang hilir mudik dengan memacu kecepatan motor dalam kondisi gelap. Jelas kondisi ini sangat rawan kecelakaan.
Karena tempatnya gelap saya juga melihat beberapa pasangan muda yang memadu kasih. Tak heran beberapa diantaranya bahkan berani berciuman serasa tidak risih dengan keberadaan orang lain yang lalu lalang.
Saya cukup senang bisa membawa anak dan istri saya ke Monas meskipun melihat beberapa kekurangannya. Saya melihat banyak sekali yang memanfaatkan lapangan-lapangan olahraga untuk kegiatan pada malam hari.
Selepas menikmati lampu warna-warni yang berganti menerangi Monas, kemudian saya pulang saat jam di handphone menunjukkan pukul 08.30 malam. Meskipun hari semakin larut saya masih menyaksikan beberapa warga yang berduyun-duyun datang untuk menikmati suasana malam hari di Monas.
Oh iya, mungkin sudah rahasia umum juga jika ada petugas yang meminta “pajak” mulai dari para pedagang kaki lima hingga petugas parkir tak resmi yang hampir beroperasi di setiap sudut pintu masuk Monas. Meskipun Monas cuma selemparan kaki dari kantor Jokowi, boleh lah sekali-kali pak Jokowi melakukan sidak dan mulai membenahi Monas kembali. Entah bagaimana jika kondisinya di pagi atau siang hari.
Hari Ketiga (31 Maret 2013)
Mungkin ini adalah hal yang memalukan, tapi sumpah baru pertama kali ini saya mengunjungi Istana Bogor. Alasan saya cukup sederhana, saya hanya ingin menunjukkan Rusa-Rusa yang sengaja di pelihara di Istana Bogor pada anak saya.
Ternyata ada retribusi untuk masuk ke Istana Bogor. Jumlahnya terbilang cukup lumayan. Sebesar empat belas ribu rupiah. Padahal masuk Kebun Binatang saja tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah.
Tapi harga itu ternyata cukup sepadan dengan apa yang saya dapatkan didalam. Karena tiket itu sudah termasuk tiket masuk Museum Zoologi. Apagi didalam tidak terlalu banyak pedagang kaki lima. Meskipun ada jumlahnya tidak banyak dan lebih rapi. Ada beberapa gerobak penjual es krim yang di kelola oleh Koperasi disana.
Well saya, cukup terkesan karena masih banyak pohon-pohon yang besarnya melebihi lingkaran badan orang dewasa sekalipun. Setelah menyusuri kolam kemudian melewati jalan setapak, akhirnya saya bisa juga menunjukkan kawanan rusa yang sedang merumput di depan Istana Bogor. Anak saya cukup antusias melihat para rusa. Setelah beberapa lama bercengkrama akhirnya kami memutuskan untuk kembali.
Sebelum pulang saya mampir dahulu di sebuah musholla kecil yang cukup bersih. Beberapa kali saya lihat petugas yang sudah tua ngepel teras musholla. Sayang sekali saya tidak bisa berlama-lama di Kebun Raya Bogor (KRB). Bahkan untuk masuk Museumpun terlewatkan.
Saat akan pulang ternyata kami sudah di samput angin ribut. Ada dahan sebuah pohon yang akhirnya tumbang di dekat Musholla. Untunglah tidak ada korban.
Bagi saya mengunjungi Istana Bogor begitu terasa bermakna dibandingkan mengunjungi Monas. Meskipun harus membayar sejumlah uang, tapi saya rela dan ikhlas karena Istana Bogor atau Kebun Raya Bogor benar-benar nyaman dan bersih. Beberapa kali motor-motor pengangkut sampah terlihat hilir mudik. Sangat disayangkan sekali para pengunjung banyak juga yang belum sadar tentang kebersihan lingkungan. Terlihat beberapa sampah di areal hutan. Entah itu sampah makanan ringan atau sampah botol minuman. Saya hanya membantu sebisanya saja. Saya buang sampah-sampah itu ke tempat sampah terdekat yang sebetulnya banyak disedikan pengelola KRB.
Ternyata ada mobil wisata juga di KRB yang siap mengantarkan para pengunjung berkeliling KRB. Meskipun sore sudah menjelang tapi rasanya hawa di KRB sore itu sedikit panas. Saya merasa kegerahan meskipun berada di tengah hutan KRB.
Setelah puas akhirnya kami bergegas pulang. Mendung memang sudah menghadang. Tak berapa lama keluar dari area KRB akhirnya turun hujan deras di sertai dengan angin kencang. Kemudian saya menepi di tempat yang memungkinkan. Syukur alhamdulillah ternyata ada tukang baksonya di tempat itu. Istri dan anak saya kemudian menikmati bakso sambil menunggu hujan reda. Awalnya ingin mampir berkunjung ke salah satu rumah sanak Famili di Cimanggu. Sayang cuaca yang tidak memungkinkan akhirnya kami langsung pulang menuju Tangerang Selatan.
Jadi berpikir kenapa tidak diberlakukan libur tiga hari setiap pekannya ya? Dengan begitu sektor ekonomi dan pariwisata akan meningkat. Kualitas hidup juga akan meningkat karena keluarga lebih banyak memiliki waktu untuk bercengkerama. Rasanya itu yang paling di butuhkan orang-orang Jakarta.