Pulau Pari, Mutiara Kepulauan Seribu yang Terpendam

Kunjungan ke Pulau Pari, Kepulauan Seribu pada tanggal 26-28 Juni 2013 lalu begitu membekas di benak kami semua, 25 peserta Summer Camp Pari Island 2013 yang berasal dari sekolah Ehipassiko BSD. Tiga diantaranya adalah para guru.

 Kegiatan yang direncanakan kurang lebih sebulan sebelumnya tanpa persiapan yang matang, namun ternyata menuai kesuksesan. Guru dan peserta dapat menikmati kegiatan yang bermanfaat sambil bertamasya dalam rangka mengisi waktu liburan akhir tahun ajaran.

Kegiatan tersebut berawal dari pertanyaan beberapa orang tua wali siswa. “Pak… , Bu… , liburan sekolah ada kegiatan tidak? Saya bingung nih mau ngajak anak-anak liburan kemana ya!” Berdasarkan pertanyaan tersebut akhirnya Direktur dan Kepala Sekolah memercayakan kepada saya untuk menggelar sebuah acara dalam bentuk Summer Camp. Awalnya Direktur sekolah menawarkan untuk menggunakan sebuah tempat sekitar 6 Hektar di kawasan Gunung Sindur, Bogor. Lengkap dengan penginapan yang dapat menampung 200 orang lebih dengan segala fasilitasnya. Bahkan disana sudah terdapat danau buatan dengan pulau kecil di tengah-tengahnya. “Tapi, apakah anak-anak akan menyukainya?” Begitu pertanyaan dalam hati kecil saya.

Sambil menghelat UKK, saya didapuk untuk merencanakan kegiatan Summer Camp semeriah mungkin. Tujuannya tentu saja yang utama adalah agar anak-anak mendapatkan kegiatan pembelajaran yang menyenangkan di luar ruangan. Anak-anak pasti sudah bosan berkutat dengan buku dan bolpen di ruang kelas. Jadi, saya merancang sedemikian rupa agar anak-anak merasa tetap nyaman belajar sambil bermain di alam terbuka.

Kemudian saya membuat angket kecil-kecilan untuk mengetahui minat dan harapan anak-anak untuk memilih kegiatan selama liburan sekolah. Dari hasil tersebut, ternyata hampir separuhnya menginginkan liburan ke pantai. Yap, kata kuncinya adalah pantai.

Sejurus kemudian saya teringat pada tetangga saya, yang juga mantan murid privat saya semasa dia SMA. Ryan Nugraha Putra, anak ini sangat berbakat sekali melihat peluang bisnis. Selain jago karate, kini ia menekuni dunia fotografi. Tanpa pikir panjang saya langsung mengundangnya untuk melakukan presentasi tentang Wisata Pulau Pari yang ditawarkannya dihadapan Kepala Sekolah. Alhamdulillah, Kepala Sekolah sangat tertarik dan akhirnya menyetujui konsep Summer Camp yang telah saya siapkan.

Akhirnya terkumpullah 22 orang siswa yang berminat mengikuti kegiatan Summer Camp pertama kami ke Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Sudah ada beragam aktifitas dan pembelajaran yang pastinya disiapkan disana.

Perjalanan dari Muara Angke Menuju Pulau Pari

Menaiki kapal laut tradisional ukuran besar adalah pengalaman pertama kalinya bagi saya dan beberapa anak-anak lainnya. Pernah beberapa kali menaiki kapal ferry, namun pengalaman menaiki kapal kayu tradisional ternyata memberikan kesan tersendiri. Karena kami datang sedikit lebih siang, sehingga tidak bisa memilih tempat di lantai atas. Akhirnya kami harus rela memasuki badan kapal. Meski masih lowong tapi suasana bau amis khas dermaga masih terasa menusuk-nusuk hidung. Namun begitu, bukan petualang namanya jika tak kuat mencium bau amis pasar ikan yang letaknya bersebelahan.

Tak menunggu beberapa lama, menyusul sekitar 100-an ibu-ibu berjilbab dengan aksen Melayu. Selidik punya selidik ternyata mereka berasal dari Jambi dengan tujuan Pulau Tidung. Ditengah perjalanan salah seorang ibu malah bertanya pada saya “Kuliner apa yang menarik di Tidung?”, “Walah saya belum tahu bu, ini juga pertama kalinya saya ke Kepulauan Seribu.”

Dari Muara Angke ke Pulau Tidung diperkirakan memakan waktu sekitar 2,5 jam. Sedangkan untuk ke Pulau Pari hanya 2 jam saja. Ryan memberikan kapal terbaik “Sinar Laut”. Kapal tersebut dikenal paling laju atau paling cepat di seantero pulau, begitulah menurut pengakuan warga pulau Pari. Nakhodanya sudah cukup berumur, sementara ketika kapal mulai melaju, ia secara otomatis digantikan oleh anak muda yang lumayan nyentrik dengan headphone selalu tergantung di lehernya. Tak lupa ia kenakan kacamata hitamnya untuk menghalau sinar matahari pagi.

Sampah Jakarta Mengotori Laut Kepulauan Seribu

Sayang sekali pemandangan saat perjalanan menuju Pulau Pari begitu menyedihkan. Sampah-sampah terapung dimana-mana. Ibarat melihat tempat sampah terbesar didunia. Miris dan sedih dibuatnya. Air laut yang begitu bersih ternyata dikotori tumpukan-tumpukan sampah yang mengapung. Bahkan beberapa meter selanjutnya kami melihat sampah-sampah plastik bertebaran, mengambang tak tentu arah. Hanya jaring nelayan atau pulau terdekat yang membuat sampah-sampah itu terhanti dari penjelajahan tanpa batasnya.

Tiba di Dermaga Pulau Pari

Akhirnya setelah dua jam perjalanan yang menyenangkan dan sedikit mendebarkan, karena pertama kalinya menggunakan kapal kayu sebagai alat transportasi laut, kami tiba di dermaga Pulau Pari. Sementara para ibu-ibu dari Jambi pun ikut gaduh, mereka pikir telah sampai di tujuan. Awak kapal mengingatkan kembali bahwa kapal baru saja bersandar di Dermaga Pulau Pari.

Sebelum tahun 2010 boleh dibilang kapal-kapal pembawa penumpang terbilang “sombong” untuk sekedar bersandar di pulau Pari. Warga masyarakat yang menumpang tak ayal harus menyambung lagi dengan perahu kecil atau sampan kecil untuk sampai ketepian. Keberadaan pulau Pari saat itu masih dipandang sebelah mata hingga akhirnya geliat pariwisata hingga kini berkembang setahap demi setahap mengalahkan pamor pulau Tidung. Begitulah cerita penduduk betapa mereka mensyukuri kondisi sekarang ini, karena sudah banyak kapal yang tiap pekan bolak-balik dari pulau Pari ke Muara Angke, Jakarta atau pun ke Tanjung Pasir, Tangerang. Jarak ke Tangerang lebih singkat sekitar 1,5 jam dengan menggunakan kapal transportasi publik. Sementara dengan menggunakan speed boat dari Marina Ancol, relatif lebih cepat namun harus merogoh kocek lebih dalam. Sensasi yang didapatkan tentunya akan berbeda pula.

Dermaga Pulau Pari tak terlalu besar namun cukup menampung beberapa kapal kecil dan kapal besar untuk bersandar. Pulau Pari dikenal dengan pesisir pantainya yang dangkal. Hingga bagian dangkal sangat mudah dikenali dengan warna dasar hijau mengelilingi pulau. Sementara permukaan yang lebih dalam sudah berbeda warna, biru pekat namun masih terlihat sangat bening. This is truly paradise!

Geliat Ekonomi Pulau Pari

Seorang tokoh muda pulau Pari telah menunggu kedatangan rombongan kami. Pemuda itu bersuara cukup berat dengan kulit hitam namun tak legam. Khas para nelayan yang selalu berjibaku dengan sinar mentari pantai setiap hari. Bang Andy dengan ramah menyambut kami semua, sementara dua orang guide lokal pun memperkenalkan diri, mereka adalah bang Salman dan bang Pendi. Keduanya bermata pencaharian utama sebagai nelayan. Menjadi guide dianggap lebih menghasilkan namun hanya dilakukan di akhir pekan. Terkadang mereka lebih memilih menjadi guide dibandingkan harus melaut, apalagi baru-baru ini harga solar naik.

Pariwisata lokal yang mulai berkembang secara nyata, berpengaruh pada kehidupan ekonomi warga Pulau Pari. Beberapa bangunan rumah mulai terlihat direnovasi. Awalnya bilik bambu sekarang berpelindung batu. Batu bata yang sengaja di produksi oleh tukang setempat. Karena tak mungkin jika harus mengirimkan batu bata dari Jakarta atau pun Tangerang. Beban yang diangkut tidak sebanding dengan resiko kapal karam.

Sepanjang perjalanan menuju Home Stay terlihat beberapa bangunan Home Stay baru tengah dalam proses pembangunan. Berbentuk rumah petak dengan beberapa kamar tidur dan satu kamar mandi. Syukurlah kami mendapatkan Home Stay yang memadai. Dua kamar tidur, dua kamar mandi dan satu ruang tamu berukuran jumbo. Dua Home Stay cukup menampung 22 peserta putra dan putri secara terpisah yang didampingi secara ketat oleh guru pembimbingnya masing-masing.

Selain mulai banyak berdiri Home Stay, terlihat pula beberapa warga menyewakan alat-alat snorkeling, warung makan, warung souvenir hingga berjamurnya tempat penyewaan sepeda. Ya, sepeda merupakan alat transportasi utama di Pulau Pari. Pulau kecil nan indah yang seharusnya tidak dikotori oleh polusi kendaraan bermotor.

Udara di Pulau Pari saat kami datang relatif tidak terlalu panas, mungkin karena cuaca saat itu memang sedikit lembab karena sempat diguyur hujan.

Keindahan Pantai Pasir Perawan

Setelah sejenak melepas penat dan merapihkan kamar tidur akhirnya petualangan pun dimulai. Setiap peserta mendapatkan kereta anginnya masing-masing. Meskipun beberapa terlihat sudah ada yang tak layak seperti sadel rusak, kayuhan rusak sebelah, namun kami tetap menikmati dan mensyukurinya.

Ternyata perjalanan dari Home Stay ke Pantai Pasir Perawan hanya selemparan batu. “Tau gitu kita jalan kaki aja Sir!”, “Yah mana ku tahu!” jawab saya sekenanya menimpali salah satu komentar kritis seorang peserta didik.

Sebelum tahun 2010, Pantai Pasir Perawan merupakan semak belukar dan konon pernah terbakar. Hingga akhirnya datanglah Ryan membawa konsep pariwisata ala backpacker. Bekerjasama dengan Karang Taruna setempat dan masyarakat, akhirnya dilakukan kerja bakti untuk membuka lahan wisata. “Pantai Pasir Perawan” secara resmi merupakan pemikiran Ryan dan bang Andy. Nama tersebut selain nyentrik juga simbol bahwa merekalah yang pertama kali membuka pantai tersebut hingga kini menjadi sumber pendapatan swadaya bagi masyarakat setempat.

Setiap tamu yang datang dikutip biaya masuk sebesar 3.500 rupiah. Biaya tersebut digunakan untuk biaya kebersihan pantai, ada sekitar 10 orang pengelola yang setiap hari melakukan operasi semut membersihkan sampah dan menebas semak belukar hingga kawasan wisata semakin nyaman bagi para pengunjung. Dulu saat pertama kali dibuka kondisinya memang memprihatinkan, selain penuh semak belukar, pengunjung yang datang pun masih bisa di hitung dengan jari. Tapi karena konsistensi warga dan pengelola membersihkan sedikit demi sedikit akhirnya kerja keras tersebut dituai juga setelah hampir tiga tahun dibuka secara umum.

High peak wisatawan terjadi biasanya saat lebaran, “Ada sekitar 4000 orang yang tumpah ruah di Pantai Pasir Perawan” begitu kata bang Salman menceritakan. Suasana memang menjadi tidak nyaman karena semua space terisi manusia yang menyemut di kawasan yang sebenarnya terbatas.

Untunglah kami datang bukan pada saat high season. Pantai Pasir Perawan jadi terasa milik sekolah kami saja. Meskipun beberapa orang terlihat lalu lalang, tapi anak-anak sangat puas bisa menjelajahi sudut-sudut pantai hingga menyebrang ke pulau kecil yang hanya selemparan batu. Pantainya yang landai membuat anak-anak leluasa bergerak kesana kemari. Pasirnya yang putih bersih membuat anak-anak tak ragu membuat grafiti di atas pasir dan bermain manusia pasir.

Es kalapa muda cukup dibandrol 10.000 rupiah saja, sementara jika perut terasa keroncongan bisa memesan mie instan setengah harga es klamud. Jika ingin menambah telur tinggal menambah tiga ribu rupiah saja. Praktis mie instan masih menjadi pilihan utama anak-anak dan dewasa untuk mengisi perut yang keroncongan, lumayan untuk kasih makan cacing-cacing perut yang sudah berteriak kelaparan.

Sangat disarankan membawa sound system portable rechargable. Selain untuk memutar musik saat bermain volley pantai atau futsal, bisa juga untuk mendengarkan hits lagu-lagu dunia lewat alunan lagu radio lokal yang masih bisa terjangkau meskipun di ujung pulau. Suaranya cukup bening terdengar. Kegiatan menjadi lebih berwarna dan bernuanasa. Alunan Daylight, Maroon Five mengema di pesisir Pantai Pasir Perawan, menemani para peserta didik menikmati keindahan pemandangan laut dan pantai.

Sebelum free time, kegiatan pembelajaran dilakukan dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil, kemudian masing-masing kelompok membuat yel-yel. Setelah itu tugas mereka diminta untuk membuat grafiti yang berkaitan dengan sekolah mereka. Barulah setelah itu kegiatan bebas hingga sore hari.

Pantai Kresek Yang Penuh Bintang Laut

Setelah kembali ke Home Stay sesaat untuk melakukan salat ashar, kemudian trekking sepeda dilanjutkan ke pusat penelitian kelautan, LIPI Oceanografi di sebelah barat pulau untuk melihat sunset. Jarak tempuh sedikit lebih jauh. Anak-anak disuguhi dengan pemandangan rumah-rumah penduduk dan Sekolah satu atap yang kondisinya sudah sangat memadai. Tingkat pendidikan di Pulau-Pulau memang masih memprihatinkan, tapi di Pulau Pari bang Andy sebagai tokoh pemuda mendirikan pula taman bacaan demi memenuhi dahaga anak-anak agar gemar membaca. Sebuah kesadaran literasi yang jarang tumbuh di lingkungan pemuda pulau.

Sebelum ke LIPI kami melewati Pantai Kresek yang memang tidak terlalu terawat, kondisinya masih alami dan mungkin dibiarkan seperti itu. Uniknya masih terdapat bintang laut di pesisir pantai. Bukan hanya satu dua bintang laut tapi bisa lebih dari lima bintang laut yang bisa kami pegang secara bebas. Tentunya dikembalikan lagi ke dalam laut. Jika air surut terkadang ada bintang laut yang tak beruntung, ia terpapar sinar matahari, kekeringan dan kemudian mati. Jadilah hiasan dinding atau pernak-pernik khas Pulau Pari. Kami berusaha memindahkan bintang-bintang laut itu lebih ketengah agar tidak bernasib demikian, menjadi pajangan.

Beberapa bakal calon pohon bakau tersusun dan berjejer rapi di Pantai Kresek. Kresek adalah sejenis tumbuhan paku-pakuan yang paling tahan cuaca. Dan uniknya tumbuhan ini tahan api. Tahun 2010 Pulau Pari pernah dilanda kebakaran yang konon katanya disebabkan oleh sebuah puntung rokok. Dan tanaman Kresek inilah yang masih hidup hingga kini tersebar di pesisir pantai Pulau Pari. Karena populasinya lebih banyak akhirnya pantai tersebut dinamai dengan Pantai Kresek, berbeda dengan Pantai Pasir Perawan. Pusat kegiatan para wisatawan lebih banyak diarahkan di Pantai Pasir Perawan yang lebih banyak fasilitasnya. Diantaranya sudah ada bale-bale tempat istirahat, saung-saung kecil yang nyaman tanpa perlu membayar sewa dan ratusan bangku-bangku alami dari potongan-potongan besar pohon hingga beberapa bale-bale terbuat dari anyaman bambu. Tak perlu khawatir juga karena Pantai Pasir Perawan sudah tersedia MCK Umum dan cukup dekat dengan Musholla.

LIPI Oceanografi

Sayang sekali cuaca hari pertama kurang mendukung sehingga kami tidak bisa melihat sunset dengan jelas. Kondisi hutan bakau di LIPI sangat memprihatinkan. Sampah-sampah kiriman dari Jakarta tersangkut di akar-akar bakau yang menancap kuat di sepanjang jalan menuju dermaga LIPI yang rusak parah diterjang ombak.

Ada kalanya musim banjir di Jakarta merupakan bencana bagi Kepulauan Seribu, karena intensitas kiriman sampah pun semakin meningkat. Tak terkecuali pulau Pari, pulau-pulau lain seperti Pulau Bidadari, Pulau Tidung, Pulau Pramuka pun ikut terkena imbas sampah kiriman dari Jakarta. Tak perlu heran jika di pesisir pantai terdapat sofa bahkan kasur ukuran double bed, serasa sudah seperti berada di ruang tamu sendiri. Miris dan sangat memprihatinkan melihat kondisi demikian! Potensi wisata yang begitu surgawi ternyata dirusak oleh sampah-sampah warga Jakarta. Sayang jika hal tersebut dibiarkan.

Warga pulau paling tabu membuang sampah sembarangan, karena di pulau-pulau kecil belum memiliki pengolahan sampah terpadu. Mungkin inilah pekerjaan rumah bagi Jokowi dan Ahok untuk memberikan penyuluhan dan pendidikan melalui para stafnya untuk mendidik warga bagaimana caranya menanggulangi sampah-sampah di pulau, baik itu karena akibat konsumsi sendiri maupun akibat sampah kiriman.

Saya berpikir rasanya akan memerlukan waktu berbulan-bulan untuk membersihkan sampah-sampah tersebut. Selain banyak yang tersangkut di akar-akar pohon bakau, juga kuantitasnya yang tidak terukur banyaknya. Mungkin ketika sudah bersih bisa jadi kotor kembali karena banjir sampah kiriman. Sempat berdiskusi dengan rekan guru tentang penanggulangan sampah dengan cara melokalisasi pesisir dengan membentangkan jaring-jaring agar sampah-sampah tidak bisa masuk ke areal pulau. Tapi, disisi lain artinya kita membiarkan sampah terombang-ambing di lautan lepas. Sedih! Bak buah simalakama. Jika tak diambil mengotori lautan, jika diambil mengotori pesisir pulau.

Makanan Laut Melimpah

Selama di Pulau Pari, kami tidak mendapatkan kesulitan berarti soal makanan. Bahkan ada salah satu peserta yang vegetarian. Akan lebih baik lagi jika membawa lauk pauk makanan kering, terutama bagi mereka yang memiliki pantangan seperti vegetarian atau yang memiliki alergi makanan laut. Bagi penyuka seafood, Pulau Pari adalah surga kuliner laut. Udang dan Cumi merupakan menu biasa. Tapi tak perlu khawatir karena Tahu, Tempe, Telur, Ayam, Lalapan dan Sambal pun tersedia dengan mudah meskipun rasanya agak sedikit berbeda.

Untuk urusan air minum, sudah banyak tersedia air galon isi ulang dengan merek ternama. Memang harganya dua kali lipat, tapi itulah yang paling baik dan terbaik sebagai sumber air minum bersih. Di Home Stay yang kami tinggali, sudah disediakan dispenser tiga rasa. Rasa air panas, rasa air dingin (es) dan rasa tawar hehehehe. Air panas sangat cocok untuk menyeduh kopi rencengan atau mie instan cup. Sedangkan air es sangat cocok diminum saat matahari serasa diatas ubun-ubun.

Jangan ragu membawa gula, teh celup dan kopi bubuk, karena semua yang ada di warung tentu sedikit lebih mahal namun masih dalam harga yang sangat wajar. Kopi hitam dibandorol dua ribu rupiah saja.

Karena malam harinya Pulau Pari diguyur hujan, akhirnya sesi BBQ diundur hingga malam kedua. Kami pun terlelap setelah seharian berkeliling pulau dengan sepeda dengan membawa mimpi indah masing-masing. Mesin pendingin ruangan nyaris tak terdengar suaranya, membawa hawa sejuk mengalir ke seluruh ruangan. Bahkan beberapa diantara anak-anak masih ada yang terjaga sambil bersurfing ria. Niat banget ya? sampai bawa Laptop ke Pulau hehehehehe……

Ada tiga provider telekomunikasi yang berjaya di Pulau Pari. Tiga provider tersebut adalah tiga perusahaan telekomunikasi terbesar saat ini di Indonesia. Lebih baik matikan koneksi internet smartphone karena pasti akan menyesal jika kesempatan yang sempit digunakan untuk update ria. Lebih baik perbanyak bidikan foto dari kamera pocket atau DLSR untuk mendapatkan gambar-gambar menawan terbaik. Banyak sekali objek yang menarik untuk diabadikan. Surga bagi para instagramer dan para Alay yang gemar ber-DLSR 😀 #kemudianhening

Snorkeling, Pertunjukan Utama

Inilah pertama kalinya bagi saya ber-snorkeling ria. Tak akan kecewa karena pulau kecil ini memiliki sejuta pesona bawah laut yang menawan, bisa jadi tak kalah jika dibandingkan dengan Bali ataupun Lombok. Meskipun belum sekelas Raja Ampat atau Sulawesi tapi boleh-lah sebagai snorkeling diver atau diver amatir untuk mencoba pesona bawah laut Kepulauan Seribu.

Ada dua spot snorkeling menawan dan satu spot diving menantang di kapal karam. Sayang karena budget backpacker jadi hanya bisa snorkeling saja.

Jika datang ke Pari, pilihlah spot terbaik terlebih dahulu. Tanjung Karang bisa jadi pilihan utama, letaknya di sebelah timur Pulau Pari sebelum ke pesisir Pulau Tikus. Jika cuaca bersahabat, seharian bisa diisi dengan ber-snorkeling ria. Jika ada angin barat atau air surut, semua digantungkan pada kapten kapal yang membawa. Jangan menantang perintah kapten! Keselamatan lebih utama karena terkadang ada juga arus dalam yang siap menyedot para perenang amatir. Ikuti instruksi kapten kapal dengan seksama.

Sekedar saran, bawalah roti tawar dari Jakarta kemudian ditempatkan pada botol-botol bekas air meniral. Roti-roti tersebut sangat mujarab mengundang ikan-ikan kecil untuk mengerubungi sambil berenang menikmati beiningnya air laut dan pesona terumbu karang yang beberapa diantaranya menawan. Tidak semuanya indah karena di beberapa bagian terlihat rusak bahkan ada sampah bekas ban sepeda.

Beranikan diri untuk menyelam kemudian diabadikan menggunakan kamera aquapix. Bagi yang tidak bisa berenang, pacu adrenalin dan minta tolong para guide agar bisa mendapatkan gambar terbaik saat menyelam. Waktu siang adalah waktu paling baik untuk mengambil gambar dari dasar laut yang hanya sekitar 3-5 meter dekat pesisir pantai. Karena cahaya matahari masih bisa menembus hingga kedalaman beberapa meter. Jika ingin wajahnya terlihat dengan jelas, jangan ragu untuk melepaskan google tapi ingat harus dibawah pengetahuan para guide dan instruktur, agar keamanan lebih terjaga.

Dok. Paradisonesia.
Dok. Paradisonesia

Pilihlah untuk kembali ke Pulau Pari untuk istirahat sejenak dan makan siang kemudian masuk ke sesi terakhir dari siang hingga sore hari untuk menikmati kembali pesona bawah laut pulau pari.

Lengkapi perelengkapan snorkeling dengan google, snorkel dan fin. Fin / sepatu katak berfungsi juga melindungi kaki dari bulu babi yang terkadang tak jelas terlihat karena berada di dasar laut. Bagus juga untuk melindungi kulit telapak kaki dari tajamnya terumbu karang. Setidaknya gunakanlah alas kaki khusus perenang untuk melindunginya.

Pulau Tikus

Pulau Tikus ini bertetangga dekat dengan Pulau Pari. Spot snorkeling Bintang Rama berdekatan dengan Pulau Tikus. Konon dulu terdapat cottage di pulau tersebut, menurut cerita para guide lokal. Tapi karena kurang pengunjung, akhirnya bangkrut. Masih ada sisa-sisa bangunan disana, bahkan bekas dermaganya pun masih jelas terlihat. Saat kami singgah di Pulau Tikus pemandangannnya ternyata jauh lebih indah dibandingkan dengan Pulau Pari.

Pesisir pantainya sama dangkal, bahkan untuk menuju ke pulau kami harus diturunkan di tengah jalan karena air laut sedang surut. Khawatir perahu karam, akhirnya kami berusaha berjibaku dengan riak ombak kecil menuju pulau Tikus.

Di Pulau Tikuslah kami menyantap makan siang. Sayangnya ketika hari semakin siang, angin barat berhebus kencang. Kondisi demikian membuat kapten kapal memutuskan untuk kembali ke dermaga Pulau Pari. Meskipun sedikit menyesal karena berangkat sedikit agak siang. Seharusnya jika ingin lebih puas selepas sarapan pada pukul tujuh pagi langsung terjun ke laut untuk menikmati pesona bawah lautnya.

Rasanya inilah yang masih mengganjal. Saya dan anak-anak jadi merencanakan kembali untuk datang lagi ke Pulau pari demi menghabiskan waktu bersnorkeling ria bahkan jika bisa menabung masing-masing bisa ikut diving juga.

BBQ dan Light Photography

Sekali lagi, Pulau Pari adalah surga bagi penikmat fotografi. Entah itu menggunakan DLSR, Kamera Pocket maupun Kamera Smartphone. Semua objek begitu menarik untuk diabadikan.

 

Malam kedua untunglah cuaca sangat bersahabat sehingga kamipun dengan mudah bisa melakukan sesi materi Light Photography dari Ryan sekaligus sambil menikmati Ikan BBQ. Bagi vegetarian atau alergi sea food jangan sungkan untuk meminta pengganti jagung bakar dan lebih baik lagi membawa daging beku atau sosis untuk sekalian dipanggang bersama.

Dokumen Ryan Nugraha Putra

Ikan terbaik yang saya rasakan adalah ikan kembung bakar, sedangkan ikan tongkol kurang sedap jika dibakar. Jika musim cumi-cumi maka anda sedikit beruntung karena lebih mudah mengkonsumsinya karena tanpa tulang.

Jangan ragu pula untuk membawa amunisi fotografi. Siapkan sejak dini. Ryan yang juga berporfesi sebagai fotografer pro benar-benar membawa “senjata-senjatanya” mulai dari tripod hingga payung studio. Hingga hasilnya pun bisa lebih maksimal dan menawan. Menarik bukan? Semua foto bisa langsung dicetak on the spot dengan frame menarik. Harganya sangat sepadan dengan foto yang dihasilkan, cukup merogoh kocek 20.000 rupiah saja untuk satu foto ukuran 5 R.

Dokumen Ryan Nugraha Putra

Ryan pun dengan mudah membagi ilmunya pada anak-anak yang tertarik dengan dunia fotografi. Bahkan sekolah kami tertarik untuk menawarkan kerjasama dengannya untuk mengisi ekstrakulikuler fotografi. Ah beruntungnya Ryan.

Dokumen Ryan Nugraha Putra

Ditengah sesi acara, ternyata ada media yang sedang meliput keindahan wisata di Pulau Pari dari salah satu televisi lokal. Kemudian anak-anak didapuk untuk ikutan nimbrung, dan salah satu guru kami ikut diwawancara. Wah beruntung sekali bisa promo sekolah gratis :p

Acara malam itu ditutup dengan pembacaan puisi romantis dari para guru dan battle stand up comedy dari para comic dadakan. Sayang sekali api unggun tidak bisa disediakan demi mencegah trauma kebakaran tiga tahun silam. Acara yang awalnya sendu menjadi meledak dengan tawa yang membahana memecah keheningan malam di pesisir pantai Pasir Perawan.

Sayangnya, meskipun peredaran miras dilarang di pulau tersebut tapi nyatanya masih ada juga yang lolos. Ada seorang kru TV yang meninggalkan kaleng bir di meja kami. Sayang saya tak menangkap mata kru tersebut. Untuk anak-anak usia sekolah hal tersebut jelas contoh sangat buruk! Sungguh tidak tahu terima kasih. Bahkan saat perjalanan menuju pulang kami berpapasan dengan dua orang anak muda yang tengah mabuk. Untunglah tidak terjadi apa-apa.

Jangan Lewatkan Sunrise di Bukit Matahari

Malam terakhir di Pulau Pari membuat saya tak bisa tidur lelap karena angin pantai pun bertiup cukup kencang. Akhirnya saya keluar untuk sekedar menikmati malam-malam terakhir di Pulau Pari. Posisi home stay langsung berhadapan dengan pantai. Angin malam terasa menusuk-nusuk pori-pori kulit. Untunglah saya membawa jaket sehingga bisa sedikit mengurangi dinginnya malam. Sambil iseng-iseng dengan bantuan meja kecil, saya melakukan sesi pemotretan di tengah exposure cahaya penerang jalan. Hasilnya tidak terlalu meyakinkan karena suasana di belakang terlalu terang/backlight.

Pagi-pagi selapas salat shubuh, sengaja saya membangunkan semua peseta untuk mengejar matahari terbit di bukit matahari. Letaknya persis bersebelahan dengan dermaga. Cukup menggenjot beberapa kali kayuhan sepeda untuk tiba disana. Jalannya sedikit menanjak dan berbukit. Lokasinya langsung berhadap-hadapan dengan matahari yang akan segera terbit.

Subhanallah, inilah keindahan sunrise di Pulau Pari. Pemandangan yang luar biasa tidak bisa tergantikan. Seakan itulah matahari terindah yang pernah kami lihat. Dibantu oleh Ryan satu pertsatu kami pun mematut-matut diri didepan lensa kamera yang siap dibidikkan. Saya sendiri menjadi asisten dadakan untuk memegang payung karena angin pantai masih terasa cukup mejatuhkan sebuah payung. Benar saja, lengah sedikit payung tersebut akhirnya harus mencium tanah untuk yang pertama kalinya. Untunglah Ryan dengan santai menanggapinya dan langsung memaafkan keteledoran saya, Maaf yaaa Om hehehehehe….. Jadilah saya meninggalkan sedikit lubang di payungnya.

Dokumen Ryan Nugraha Putra

Momen tersebut adalah momen terindah bagi kami karena hasil foto-fotonya sangat memuaskan. Ada sekitar 23 foto yang langsung dicetak setelah sesi pemotretan. Luar biasa bukan? Satu persatu anak-anak memilih pose-pose terbaiknya untuk dijadikan kenang-kenangan perjalanan ke Pulau Pari yang indah nan menawan.

Dokumen Ryan Nugraha Purta
Dokumen Ryan Nugraha Putra

Dokumen Ryan Nugraha Putra

Perpisahan Terakhir di Pantai Pasir Perawan

Tak bosan-bosannya kami mengunjungi pantai Pasir Perawan, suasananya yang seperti milik sendiri hingga membebaskan kami mengekspresikan diri. Mulai dari berteriak, berlari, menyelam, hingga bermain lempar pasir pantai perawan.

Kegiatan free time tersebut diawali dengan Ecotourism. Sebagai tanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan di Pulau Pari, setiap orang yang mengunjungi pulau Pari wajib menanam satu buah bibit pohon bakau di pesisir pantai Pasir Perawan. Lokasinya sedikit menjauh dari lokasi wisata lebih condong ke sebelah timur. Jajaran pohon bakau imut menandakan sudah cukup banyak pengunjung yang datang ke Pulau Pari. Bibit-bibit tersebut disedikan oleh para guide sebagai bentuk kepedulian lingkungan.

Sayang memang area penanaman bibit pohon bakau cukup kotor dengan sampah kiriman. Bahkan tutup tempat sampah dan beberapa sampah kopi sachet terlihat begitu mendominasi ditengah sampah-sampah yang ada. Bisa jadi itu adalah sampah kiriman dari Jakarta, bisa juga sampah-sampah para nelayan yang melaut. Mudah-mudahan nelayan-nelayan sudah memahami arti pentingnya menjaga lingkungan laut. Tinggal edukasi warga pesisir Jakarta yang harus dibukakan mata dan mata hatinya betapa dosa mereka bertumpuk begunung-gunung di beberapa pulau di Kepulauan Seribu.

Sayonara Pulau Pari…

Tak terasa akhirnya Jumat siang setelah melaksanakan salat Jumat berjamaah, kami bersandar di Dermaga untuk menunggu kedatangan kapal yang akan membawa kami kembali ke Muara Angke. Ada beberapa souvenir khas Pulau Pari yaitu dodol rumput laut yang patut dicoba.

Oh ya, uniknya lagi di Pulau ini setiap orang yang memarkir motornya entah itu di Masjid atau di pekarangan depan rumahnya sendiri membiarkan begitu saja kunci motornya menggantung. Tak ada rasa khawatir akan hilang atau di curi orang. Andai saja Jakarta bisa demikian hehehehe. Rasanya tak mungkin. Yap, itulah sedikit keajaiban orang kota yang heran dengan keramahan dan kejujuran warga Pulau Pari.

Menurut penuturan para guide dan band Andy, warga Pulau Pari berkomitmen untuk mengembalikan barang temuan apapun milik para wisatawan. Tak ayal beberapa kali kejadian kamera DLSR, Handphone dan barang elektronik lain yang tertinggal pun bisa kembali sehat wal afiat ke tangan pemiliknya. Mereka tidak menjamin jika barang berharga tersebut ditemukan oleh wisatawan lain. Bisa dipastikan barang tidak kembali dan sialnya hal tersebut terjadi pada salah satu murid saya yang kehilangan dompetnya. Meskipun besarannya tidak terlalu dipermasalahkan namun ia memiliki keinginan untuk membahagiakan orang yang disayanginya dengan menggunakan uang hasil keringatnya tersebut. Sayang sekali niatnya harus tertunda karena ketidakjujuran seseorang.

“Pesona, keindahan, keramahan warga dan fasilitas pendukung di Pulau Pari harus dijaga kelestariannya” itu pesan terakhir saya pada bang Andy, Ryan dan para guide lokal yang setia selama kegiatan menemani kami semua. Bahkan ketika kami tidur siang pun mereka standby didepan Home Stay.

Terimakasih saya ucapkan kepada Ryan, bang Andy, bang Salman, bang Pendi, LIPI dan semua aparat yang terkait di Pulau Patri. Terima kasih juga untuk kru Paradisonesia yang sudah menjamu kami dengan sangat layak. Semoga tahun depan kegiatan Summer Camp 2014 bisa terlaksana dengan lebih baik lagi di tempat yang sama.

Salam Hangat.

Dzulfikar Alala

Fotografer

Delia

Dickson

Wenilia

Mr. Dzulfikar

Mr. Setiadi

Taken by Canon 550D/1100D/Samsung N-7000

Semua foto tanpa caption adalah dokumen pribadi

Info Price List (Pertanggal 26-28 Juni 2013):

  • Kapal Penyebrangan (Muara Angke – Pulau Pari)                 Rp. 35.000,-
  • Sewa Sepeda/hari                                                                       Rp. 10.000,-
  • Home Stay AC                                                                              Rp. 450.000,-
  • Home Stay Non AC                                                                     Rp. 250.000,-
  • Alat Snorkeling (Google dan Snorkel)/Hari                            Rp. 35.000,-
  • Live Vest (Rompi Penyelamat/Pelampung)/hari                   Rp. 10.000,-
  • Fin (Sepatu Katak)                                                                       Rp. 10.000,-
  • Retribusi Pantai Pasir Perawan/hari/orang                             Rp. 3.500,-
  • Sewa lahan kemping Pantai Pasir Perawan/malam            Rp. 10.000,-
  • Sewa Sampan di Pantai Pasir Perawan/jam (pelajar)           Rp.35.000,-
  • Mie Instan + Telur                                                                         Rp. 8.000,-
  • Mie Instan saja                                                                              Rp. 5.000,-
  • Es Kelapa Muda Batok                                                                Rp. 10.000,-
  • Aqua Galon                                                                                   Rp. 20.000,-
  • Sewa Perahu Snorkeling/hari/30 orang                             Rp. 2.000.000,-
  • Sewa Perahu Snorkeling/hari/10orang                                 Rp. 400.000,-
  • Sewa Alat Diving/sesi                                                              Rp. 350.000,-
  • Instruktur Diving (1 instruktur untuk 5 orang)                      Rp. 200.000,-
  • Banana Boat/orang                                                                     Rp. 25.000,-
  • Flying Boat                                                                                    Rp. 35.000,-

Tips Penting

  • Bawa Flashdisk (8 GB) untuk minta file foto setalah snorkeling.
  • Jika ada, bawa kamera underwater.
  • Bawa roti tawar untuk kasih makan ikan saat snorkeling
  • Bawa mie instan cup untuk penawar lapar
  • Bawa kopi sachet
  • Bawa joran untuk mancing
  • Pelajari prakiraan cuaca supaya bisa dapet snorkeling sepuasnya
  • Kunjungi pulau Tikus
  • Cari sewa sepeda dgn unit baru (ada bbrp sepeda lipat yang disewakan juga)
  • Spot terbaik untuk Sunrise ada di Bukit Matahari
  • Spot terbaik untuk Sunset di Dermaga LIPI
  • Cari bintang laut di Pantai Kresek dan jangan dibawa pulang
  • Tanam bakau di Pantai Pasir Perawan
  • Pilih Home Stay AC di pinggir pantai
  • Bawa 1 Buku Baru/Bekas untuk sumbangan ke koleksi Taman Bacaan bang Andy
  • Bawa speaker portable rechargeble untuk setel musik di Kapal dan di Pantai
  • Bawa kotak P3K lengkap (obat merah, plester, alkohol, perban, antimo, dll)
  • Bawa lauk makanan kering yang anti seafood atau vegetarian
  • Bawa lotion anti nyamuk saat ke LIPI, karena banyak nyamuk
  • Bawa tripod, flash dan senter jika suka fotografi
  • Susun acara sendiri supaya lebih fun dan biasanya fleksibel dengan jadwal rundown yang sudah ditetapkan Travel atau EO

Tulisan ini diikut sertakan pada Lomba Blog “Keindahan Pulau Seribu” yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata DKI Jakarta beserta Viva.co.id

2 pemikiran pada “Pulau Pari, Mutiara Kepulauan Seribu yang Terpendam”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.