Pagi ini (27/12) saya iseng pergi ke pasar tradisional dengan berjalan kaki di Prajekan, Situbondo, Jawa Timur. Ada beberapa kebutuhan yang ingin saya beli. Sengaja jalan kaki karena sudah lama rasanya tidak jalan jauh. Meski sebetulnya bisa ditempuh dengan angkutan kota atau becak, saya tetap memikih jalan kaki. Jarak antara rumah dan pasar mungkin sekitar 5 kilometer saja. Karena tracknya lurus jadi tidak terasa jauh.
Di jalan saya menemui ada dua mini market. Duh rasanya ingin segera masuk kedalam dan berbelanja dengan nyaman. Tak perlu berbecek-becek ria sambil menutup hidung seperti di pasar tradisional. Tapi pikiran itu saya kubur dalam-dalam. Saya ingin mencoba sesuatu hal yang berbeda dari biasanya.
Perjalanan menuju pasar ini pun saya mendapati banyak kejutan. Biasanya saya kurang aware dengan kondisi di sepanjang jalan menuju pasar. Ternyata masih ada beberapa bangunan tua peninggalan zaman penjajahan Belanda. Hampir setiap rumah memiliki gerbang. Beberapa diantaranya memang sudah terlihag modern. Tapi kebanyakan masih seperti aslinya.
Setibanya di pasar saya kemudian mencari pintu masuk. Ternyata ada akses pintu masuk yang muat untuk dilintasi sebuah becak. Bau khas pasar tradisional mulai menusuk hidung.
Ingatan saya mulai menerawang jauh. Saat masih kecil, Nenek saya kerap mengajak saya berbelanja di pasar tradisional di pasar Simpang, Dago, Bandung. Kondisnya mirip-mirip sekali seperti di Bandung. Sepulang berbelanja biasanya saya minta dibelikan kupat tahu Singaparna. Dari pengalaman bersama nenek itulah saya merasa percaya diri untuk berbelanja di pasar tradisional.
Bagi perempuan mungkin terlihat aneh melihat seorang lelaki muda berkeliaran tak jelas di pasar. Benar saya seperti orang linglung. Saya jadi bingung bagai mana caranya memulai berbelanja. Untuk orang pemalu seperti saya berhubungan dengan orang memang butuh sedikit perjuangan. Berbeda dengan di minimarket yang langsung dihadapkan dengan barang.
Disinilah kecerdasaan sosial seseorang di tempa dan dibuktikan. Ternyata saya masih gagal untuk sekedar berbasa-basi melihat-lihat barang dagangan. Apalagi saya termasuk segan jika lawan bicara yang lebih pro aktif. Lah mana ada pedagang yang pasif? Begitu pikir saya.
Terus terang saya rada malu dan risih ketika para ibu-ibu memanggil-manggil saya dan menawarkan barang dagangannya. Jangankan di pasar, di departemen store pun saya kerap kali tidak jadi berbelanja karena di tongkrongin spg. Meskipun sebetulnya niat spg itu memang ingin membantu.
Akhirnya saya hanya berputar-putar di pasar tanpa tujuan. Kebutuhan yang ingin dibeli jadi lupa semua karena gugup berada di pasar tradisional. “Kenapa ya saya bisa seperti ini? Memalukan sekali” batin saya. Jika terlihat bingung di Jakarta mungkin saya sudah jadi santapan empuk penipu bahkan preman terminal Pulo Gadung.
Setapak demi setapak saya melewati beberapa kios. Bapak-bapak penjual pakaian dalam wanita seperti menertawakan saya yang terlihat kebingungan.
Akhirnya saya keluar dari kawasan pasar. Entah kenapa ketika keluar dari pasar kepercayaan diri saya muncul kembali. Kemudian saya cari toko yang menjual sembako. Saya sengaja mencari yang sedikit lebih besar dari pada sebuah kios bahkan jongko-jongko. Agar membuat saya lebih nyaman.
Kemudian satu persatu ingatan tentang barang yang ingin saya beli muncul. List belanjaan standar mahasiswa. Minyak goreng, telur, mie instan, kopi, teh dan bumbu untuk membuat nasi goreng. Setelah semua lengkap samar-samar saya melihat kecap. Alhamdulillah ternyata kecapnya berhadiah gelas. Seperti mendapatkan durian runtuh hahahahaha.
Gak pake nawar gak pake lama akhirnya saya ingat bagaimana caranya memulai berbelanja di pasar tradisional. Sebuah life skill yang tidak mudah namun sangat penting. Mungkin karena jarang diasah akhirnya keterampilan itu jadi mengendap. Memang harus dipaksakan agar ingatan itu merekah kembali.
Teringat seorang tokoh pro-rakyat yang pantang berbelanja di mini market bahkan supermarket. Dia selalu berbelanja dan setia pada pasar tradisional meskipun sudah menjadi guru besar. Berbelanja tapi tak pernah menawar. Padahal keunikan berbelanja di pasar tradisional adalah menguji kehandalan tawar menawar.
Sungguh malu rasanya sudah lupa caranya berbelanja di pasar tradisional. Mungkin inilah yang dinamakan generasi Google memang tidak kreatif. Sampai-sampai berbelanja di pasar tradisional saja sebegitu gugupnya.
Esok saya jadi ingin kembali lagi ke pasar tradisional. Meski tak banyak yang harus dibeli. Tapi saya ingin mengabadikan semua cerita saya ini dalam bentuk gambar.
Kapan terakhir anda belanja di pasar tradisional? Tak usah bilang anda pro-rakyat kalau masih suka belanja di etalase mewah dan serba wah.
Salam Hangat