Terpekur di Laguna Pari Sawarna Bayah, Banten

 

Jumat lalu (10/1) saya bersama rombongan siswa Ehipassiko School BSD melakukan karya wisata ke Desa Wisata Sawarna, Bayah, Banten. Perjalanan dari Serpong, BSD hingga Desa Sawarna memakan waktu hampir tujuh jam lamanya. Jalur yang kami lewati yakni Serang Timur lanjut ke Rangkas Bitung hingga ke Malingping. Dari Malingping sekitar dua jam lagi.

Kondisi jalan di daerah Banten memang ampun deh. Lobangnya dimana-mana. Kalau mau milih jalan kayaknya udah gak bisa deh. Udah pasti harus off road hingga hampir tiga jam lamanya. Jika memilih jalur melawati Sukabumi, medan yang di tempuh semakin berat. Belum lagi jembatan di Caringin baru saja putus yang berakibat pada pengaturan lalu lintas satu jalur bergantian dari dua arah.

Kenapa yang dipilih Sawarna? Alasannya Desa Wisata Sawarna sebetunya tidak terlalu jauh dari Serpong. Hanya saja medan jalan yang berat dan rusak parah membuat perjalana jadi semakin lama. Maklum, sudah bukan rahasia lagi kondisi jalanan di Banten tidak semulus muka Ratu Atut yang kini telah mendekam di penjara KPK karena diduga terlibat beberapa kasus korupsi.

Ada beberapa tempat yang akan kami kunjungi di Desa Wisata Sawarna. Beberapa diantaranya Pantai Ciantir, Goa Lalay, Laguna Pari dan maskot Desa Sawarna yakni Tanjung Layar.

Desa Sawarna awalnya merupakan perkebunan. Sehingga produk unggulannya saat itu adalah gula kelapa. Namun, karena potensi wisatanya lebih besar akhirnya kini masyarakat beralih menjadi guide dan menjadikan rumah pribadinya menjadi homestay.

 

Saking menariknya Sawarna, hingga kami terakhir kesana sudah ada dua mini market yang dikenal.

Lanskap Sawarna boleh di bilang paling lengkap sebagai desa wisata. Mulai dari pantai, sawah, bukit, sungai, pantai pasir putih, pantai yang di penuhi karang hingga beberapa goa yang tak mungkin habis di ekplorasi dalam waktu satu hari.

 

Hal yang mungkin akan pertama saya ceritakan adalah pengalaman mengejar matahari terbit hingga ke Laguna Pari. Pemandu lokal tidak pernah bilang sebelumnya bahwa medan yang di tempuh penuh batu dan berliku. Bahaha udah kayak puisi aja.

Di desa Sawarna tidak ada penyewaan sepeda. Jadi sepenuhnya kita berjalan kaki/trekking. Dari homestay jarak beberapa tempat yang di kunjungi antara satu setengah kilo sampai dengan dua kilo meter jaraknya. Untuk menggunakan motor paling-paling hanya bisa sampai pantai ciantir dan laguna pari. Sedangkan untuk ke goa lalay dan laguna pari mustahil menggunakan motor atau kendaraaan sejenisnya.

 

Memang kami dijadwalkan untuk mengejar matahari mulai dari pukul lima pagi selepas subuh. Maksudnya agar bisa menyusuri pesisir pantai dari Ciantir, Tanjung Layar terus ke Timur hingga ke Laguna Pari tepat ketika semburat pagi menyembul dari timur. Medan jalan dari Tanjung Layar hingga Laguna Pari boleh di bilang sangat ekstrem. hanya sekitar 25 orang dari 109 peserta dan pembina yang bisa mencapai Laguna Pari, termasuk saya salah satunya.

Beberapa peserta usia anak SMP dan SMA yang penuh energi (hiperaktif) memang sukses hingga Laguna Pari. Tapi bukan berarti anak-anak yang terlihat pendiam dan penurut tidak bisa menantang ganasnya karang Sawarna. Meski harus terpeleset, tergores karang tajam hingga kuku yang terlepas tak membuat mereka menyerah. Salut dengan perjuangan mereka hingga ke tujuan akhir Laguna Pari.

 

Demi keselamatan karena dengan cepat air laut mulai pasang akhirnya kelompok terakhir di arahkan untuk balik badan hingga ke tanjung layar. Sisanya 25 orang melanjutkan perjalanan hingga ke Laguna Pari. Kami menyusuri pesisir pantai dengan berbagai medan. Mulai dari pasir putih yang bersih, bebatuan yang dipenuhi remahan kerang hingga karang yang tajam dan cadas.

Akhirnya setelah perjalanan kurang lebih satu jam kami tiba di pantai Laguna Pari. Perjalanan menuju Laguna Pari pasti banyak memberikan pengalaman menarik bagi anak-anak terlebih untuk saya juga. Inilah keindahan alam Banten yang belum tersetuh karena infrastruktur yang rusak parah. Padahal jika jalan menuju Sawarna di perbaiki tentu pamor Bandung dan Bogor akan kalah. Namun, ada untungnya juga Sawarna masih terisolasi. Karena mental para wisatawan lokal masih belum memperhatikan kebersihan dan kelesatarian alam.

 

Bersambung…

Salam Hangat

@DzulfikarAlala

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.