Setidaknya 73 wartawan Filipina tewas dalam koneksi langsung ke pekerjaan mereka sejak 1992, dan menjadikan Filipina sebagai negara paling mematikan kedua di dunia bagi pers, menurut penelitian CPJ. Setidaknya 55 pembunuhan wartawan dalam dekade terakhir telah terselesaikan. Menghadapi awal Agustus ini, dalam waktu 48 jam, tiga wartawan dibunuh di Filipina. Fotografer Mario ditembak mati di depan stri dan anak perempuannya pada Kamis (1/8) lalu di rumahnya di kota General Santos. Dikutip dari sini.
Kasus pembunuhan wartawan untuk membungkam kebebasan pers selain di Indonesia ternyata terjadi lebih parah lagi di Filipina. Seperti kita ketahui, Udin, wartawan harian Bernas, sampai detik ini tidak jelas siapa pembunuh sesungguhnya. Udin dikenal vokal dan kritis terhadap pemerintahan orde baru semasa hidupnya sebagai wartawan. Akhirnya udin meninggal dunia setelah upaya penyelamatannya gagal karena parahnya aksi brutal yang dilakukan terhadapnya.
Apa yang terjadi di Indonesia setidaknya belum seberapa meskipun masih tergolong cukup parah. Lebih gila lagi ternyata di Filipina para kuli tinta sudah harus siap bila meregang nyawa jika tulisannya tidak disukai oleh penguasa atau orang-orang tertentu.
Meskipun banyak kemiripan sejarah politik antara Indonesia dan Filipina namun banyak hal yang membedakan antara kebebasan berekspresi di Indonesia dan di Filipina. Kebebasan berekspresi di Filipina jauh sebelum Indonesia mengalami masa reformasi. Dalam upaya melakukan perjuangan reformasi itulah muncul beberapa budayawan sebagai strategi melawan penguasa. Karena jika berhadapan dengan frontal maka akibatnya adalah penghilangan nyawa.
Jurnalis Indonesia banyak yang menyamar menjadi budayawan yang kerap melakukan kritik sosial, dan itu yang terjadi sampai saat ini dan ternyata laku. Sebutlah Sudjiwotedjo dengan gaya khasnya yang selalu tampil mentereng di setiap aksi layar kaca. Dia adalah mantan jurnalis yang menyamar menjadi budayawan. Kritiknya sebagai budayawan nyaris tidak halus namun frontal seperti wartawan. Tapi orang yang di kritik tidak merasa marah karena mbah Tedjo menyampaikannya dengan cerita pewayangan yang sarat dengan sejarahnya nan mistis.
Yang terjadi di Filipina sekarang adalah ketakutan yang mencekam meskipun tidak terlihat secara vulgar. Kondisi psikologis para jurnalis dan jurnalis warga akan selalu dalam keadaan siap siaga menghadapi apapun resiko yang ada. Kebebasan para blogger setidaknya terpengaruh banyak dari kasus-kasus pembunuhan wartawan yang keji dan sepertinya terencana.
Sudah saat-nya blogger dan jurnalis warga melakukan geriliya perlawanan dengan cara yang berbeda. Bukan dengan melakukan perlawanan langsung berhadap-hadapan. Secara resmi Presiden Benigno Aquino berjanji akan memperbaiki citra negaranya atas kejadian terbunuhnya beberapa wartawan. Namun hal tersebut belum cukup dilakukan sementara keberpihakan pemerintah pada jurnalis masih dirasa kurang atau bahkan masih dipertanyakan.
Dalam kaitannya dengan komunitas ASEAN 2015, perlu adaanya kerjasama dalam bidang politik sebagai upaya rekonsiliasi nasional antara pemerintah dan jurnalis yang didalamnya terdapat blogger dan jurnalis warga pula. Dengan begitu upaya-upaya untuk mempersatukan bangsa demi kepentingan bersama dan lebih besar lagi ASEAN akan semakin mudah tanpa adanya petumpahan darah kembali.
Ketegasan pemerintah dalam hal ini mutlak sangat dibutuhkan. Apalagi citra buruk yang melekat selama ini terhadap Filipina akan sulit untuk dihapus dalam catatan sejarah kebebasan pers. Record tersebut akan sirna seiring dengan membaiknya kondisi dan pemberian hak yang wajar terhadap kebebsasan berekspresi bagi warganya dan para pemburu berita. Jangan sampai kebebasan berekspresi itu malah diancam dengan tali gantungan kematian. Bisa bebas namun kaku dan tak luwes lagi. Yang ada justru kepura-puraan bahkan kepalsuan yang ditunjukkan ditengah tekanan.
Salam hangat
@DzulfikarAlala
Ps. Tema ini sumpah bikin sakit kepala. Tulisan diatas terinspirasi dari artikal mas Yusran Darmawan http://media.kompasiana.com/buku/2013/09/01/penulis-peneliti-dan-pencatat-kehidupan-585658.html