Jika menulis masalah kopi, rasanya tidak bisa sekaligus selesai. Caranya harus sama ketika menikmati kopi itu sendiri. Diseruput pelan-pelan selagi panas. Tidak perlu terlalu buru-buru menikmatinya, apalagi jika harus ditiup atau di tuangkan ke sebuah piring kecil. Tentunya kopi nikmat itu akan segera habis. Ibarat menikmati cokelat, tidak perlu langsung di kunyah dan ditelan langsung. Tapi dinikmati dengan menempelkan cokelatnya di langit-langit dinding mulut kita. Wahhh lelehannya seperti meledak di mulut. Sama persis dengan cara menikmati secangkir kopi di pagi atau sore hari.
Kebetulan saya sempat berbincang-bincang dengan Pak Bondan Winarno pada sebuah acara yang diselenggarakan Kompasiana dan Urbanesia di Kopi Oey Fatmawati. Dari perbincangan tersebut banyak hal yang membuat saya terkejut. Salah satunya ternyata tak mudah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Artinya, selama ini kebanyakan orang Indonesia bukan membeli kualitas sebuah rasa dan kenikmatan kopi, bisa jadi hanya unsur gengsi semata.
Secangkir kopi branded asal Amerika mungkin memang bisa menaikkan gengsi, tapi dengan setengah harga secangkir kopi Amerika tersebut, kita dapat membeli secangkir kopi lokal terbaik sekaligus meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia. Hal yang sangat membanggakan bukan jika semuanya berpikiran untuk memajukan negerinya sendiri? Setidaknya jangan sampai kopi pun di impor berlebihan seperti kacang kedelai, sehingga harga tempe dan tahu semakin meroket. Miris memang yang terjadi di Indonesia ini.
Balik lagi ke Kopi. Pertanyaannya mengapa Vietnam dapat menjadi sentra penghasil kopi terbesar di dunia setelah Brazil? Salah satu faktornya adalah kebiasaan rakyatnya. Seperti dituturkan oleh Pak Bondan bahwa orang-orang Vietnam itu hidup matinya sudah pasti dengan kopi. Bangun tidur kopi, siang-siang saat panas minumnya es kopi, sore dan malam apalagi ditambah seduhan kopi arabika yang sudah diperam selama tujuh tahun akan menggugah cita rasa kopi.
Beberapa kopi di Indonesia yang dikenal selain Arabica yang sedikit kecut dan Robusta yang lebih pahit, ada salah satu jenis kopi yang bibitnya berasal dari Afrika Selatan dengan jenis Liberica. Uniknya kopi Liberica memiliki rasa seperti karedok. Kalau orang Betawi mungkin lebih mengenal gado-gado. Liberica memang jenis kopi yang tidak terlalu populer namun memilki potensi yang sangat luar biasa karena memiliki cita rasa selain Arabica dan Robusta.
Ironisnya ketika kita tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, ternyata kopi dari Indonesia menjadi primadona di Amerika sekalipun. Beberapa reportase tentang kemashyuran dan larisnya kopi Indonesia menjadikan kita patut berbangga bahwa sebetulnya kekayaan alam Indonesia ini sangat beragam. Kopi saja di kembangkan, maka jutaan petani Indonesia yang akan terselamatkan hidupnya dan bisa mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Sayangnya kenyataannya berbanding terbalik karena pemerintah tidak dapat melindungi petani dengan regulasi dan sistem yang lebih menguntungkan petani. Selama ini petani-petani Indonesia hidup berkecukupan bahkan bisa jadi dibawah garis kemiskinan, di saat yang sama ada orang asing yang bisa menikmati hasilnya. Peran pemerintah tentu sangat besar disini untuk meningkatkan taraf hidup petani seiring dengan semakin tingginya harga secangkir kopi asal Indonesia di negeri asing.
Sinergi Kopi Vietnam dan Indonesia
Apa yang bisa dilakukan Indonesia dan Vietnam untuk merebut pasar dunia dan mengubah peta sentra kopi terbesar di dunia tentu dengan bersinergi. Banyak keuntungan yang bisa didapatkan jika Indonesia dan Vietnam bisa bekerja sama untuk mengambangkan produksi dalam negeri untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin mengenal kopi Indonesia dan Vietnam. Apalagi kini Indonesia dikenal sebagai sentra penghasil kopi luwak ternikmat yang pusatnya lagi-lagi lebih banyak di Sumatera.
Indonesia perlu belajar lagi kepada Vietnam, bagaimana bisa lebih meningkatkan taraf hidup petani sehingga tidak terus menjadi masyarakat kelas dua. Jika taraf hidup petani meningkat, maka petani Indonesia lambat laut akan semakin meningkatkan produktifitasnya..
Sebagai Negeri tetangga, Indonesia pun sudah sepatutnya dapat bekerja sama. Meskipun masih tetap ‘bentrok’ di lapangan hijau, namun dalam menggalang kekuatan ekonomi ASEAN penjajakan tersebut harus sudah dilakukan sejak dini, apalagi tahun 2015 sudah didepan mata. Banyak elemen yang perlu urun rembug agar Kopi Indonesia dan Vietnam dapat dikenal baik di dalam negerinya sendiri maupun di luar negeri. Menjadi tuan rumah di negeri sendiri itu sebuah keniscayaan yang seharusnya tidak dibantah lagi dan diperjuangkan bersama baik oleh pemerintah dan masyarakat.
Salam Hangat
@DzulfikarAlala