Sengketa Pedra Branca adalah persengketaan wilayah antara Singapura dan Malaysia terhadap pulau yang terletak di pintu masuk [Selat Singapura sebelah timur.
Terdapat tiga pulau yang dipersengketakan, yaitu Pedra Branca (disebut Pulau Batu Puteh oleh Malaysia), Batuan Tengah dan Karang Selatan.
Persengketaan dimulai pada tahun 1979 dan sebagian besar sudah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional tahun 2008.
Pedra Branca diserahkan pada Singapura berdasarkan pertimbangan effectivity dan gugus terumbu karang batuan tengah (dalam kenyataan adalah pantai utara dari pulau Bintan dalam wilayah Republik Indonesia) diserahkan pada Malaysia. Dikutip dari Wikipedia.
Oke, bicara masalah persengketaan tanah sebetulnya sudah wilayah yang cukup berat karena menyangkut hukum. Apalagi persengketaan yang dimaksud bukan perorangan melainkan negara. Terlebih lagi yang diperebutkan adalah sebuah pulau.
Sebagian besar negara ASEAN adalah negara maritim, dikelilingi oleh lautan yang memiliki zona ekonomi eklusif (ZEE). Sebelum adanya deklarasi Djuanda, sebuah negara hanya berhak memiliki laut dengan batas wilayah 3 mil dari garis pantai, hal tersebut didasarkan pada peraturan masa pemerintahan kolonial Belanda.
Hal tersebut tentu sangat merugikan Indonesia sebagai negara kepulaluan. Kemudian dicetuskanlah deklarasi Djuanda yang merubah peta Indonesia menjadi sebuah kesatuan yang tidak dipisahkan oleh zonasi laut.
Deklarasi Djuanda merupakan tonggak sejarah sehingga Indonesia memperbesar wilayah perairan. Artinya tidak ada lagi negara yang boleh melewati selat manapun yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia.
Hingga kemudian aturan ZEE disepakati oleh anggota negara yang tergabung dalam PBB. Zonasi laut berdasarkan ZEE memungkinkan sebuah negara mengekplorasi laut tidak lebih dari 200 mil dari garis pantai.
Namun, ZEE dibatasi pula oleh negara-negara yang bertetangga seperti halnya kawasan ASEAN. Kesepakatan pembagian wilayah yang bertetangga inilah yang masih banyak tersandung masalah seperti halnya Indonesia dan Malaysia serta Malaysia dan Singapura.
Persengketaan yang tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan maupun secara adat dapat dibawa ke Mahkamah Internasional.
Adapun setelah itu, setiap negara harus menghormati keputusannya. Apa yang dilakukan Malaysia tentu bertentangan dengan tujuan komunitas ASEAN.
Seperti halnya Indonesia yang telah kehilangan Sipadan dan Ligitan, bangsa Indonesia menerima secara hukum meskipun masing-masing personal banyak yang tidak menerima keputusan tersebut.
Hendaknya Malaysia bisa melihat kedalam diri sendiri terhadap apa yang telah mereke lakukan selama ini. Ketetapan hukum yang sudah final harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Adapun Singapuran pun tidak boleh terus-terusan mereklamasi pantai sehingga menambah lebar kekuasaan zonasi laut yang dapat menimbulkan konflik dan persengketaan di kemudian hari.
Ada baiknya perhitungan zonasi laut tidak lagi diukur dari garis pantai melainkan dari pusat kota titik nol kilometer. Dengan demikian meskipun terjadi raklamasi besar-besaran seperti apa yang terjadi di Singapura, Indonesia tidak perlu risau karena dengan demikian wilayah laut Singapura akan semakin habis dengan semakin banyaknya reklamasi pantai yang dilakukan demi menambah batas wilayah yang sebenarnya percuma.
Butuh kedewasaan dalam menyelesaikan konflik dan persengketaan anggota ASEAN. Indonesia bisa keluar sebagai juru runding apalagi selama ini Indonesia boleh jadi telah menjadi korban “arogansi” Singapura dan Malaysia. Sudah saatnya Indonesia dapat mendamaikan keduanya agar tujuan komunitas ASEAN bisa terwujud dan terlaksana.
Satu hal yang membuat Singapura berada diatas angin adalah Singapura memiliki catatan arsip secara legal dari Kesultanan Johor pada masa lalu bahwa Pulau Batu Puteh yang letaknya lebih dekat ke Malaysia memang diakui tidak termasuk wilayah kesultanan Malaysia pada saat itu.
Dengan bukti fisik tersebut sudah sepantasnyalah Malaysia bisa bersikal legowo dan menghotmati ketetapan hukum. Namun, bukan berarti Singapura dapat bertepuk dada. Inilah tugas rumah komunitas ASEAN yang paling berat karena masih banyak pulau milik Indonesia yang belum jelas statusnya. Bahkan nama pulaunya sekalipun belum ada.
2 pemikiran pada “Mengurai Tali Kusut Pertikaian Singapura dan Malaysia”