Benarkah Jadi Influencer Lebih Bahagia?

“Eh kamu enak banget ya bisa jalan-jalan terus!”

“Kok kamu bisa jalan-jalan terus ya? Emangnya kerjaan kamu apa ya?”

“Ah, postingan gitu doang kok bisa menang ya?

Ungkapan dan pertanyaan seperti itu sudah lumrah dalam dunia perbloggeran dan buzzer. Tak terkecuali di lingkup influencer.

Apalagi persaingan sekarang makin ketat. Banyak talenta muda yang lebih kreatif, lebih imajinatif dan bisa memuaskan kebutuhan brand sesuai dengan harapan mereka.

Sayang, nun jauh di sana tidak semua “teman” blogger, buzzer atau influencer yang bahagia ketika melihat orang lain mendapatkan job atau diajak famtrip oleh brand apalagi Kementerian Pariwisata.

Belum lagi netizen yang menganggap bahwa kami yang suka traveling lebih bahagia.

Sah-sah aja semua orang memiliki asumsi dan pendapatnya masing-masing. Tapi, jika perasaan seperti ini terus menerus dipendam dan tidak dikelola dengan baik justru bisa jadi penyakit.

Jangan anggap sepele ya. Tidak sedikit loh komentar “jahat” yang kadang-kadang mampir di kolom komentar para buzzer atau influencer yang sedang mendapatkan job dari brand.

Seharusnya, sesama buzzer atau influencer yang paham dengan cara kerja endorsement tidak memberikan komentar-komentar yang menyudutkan apalagi menohok langsung to the point menjelekkan brand yang sedang dipromosikan.

Nah, kamu sendiri pernah berpikir enggak sih ada orang semacam ini di lingkungan kita?

Saya punya dua asumsi terhadap orang-orang seperti ini. Pertama, memang karakter dia seperti itu dan yang kedua bisa jadi dia tidak menyadari apa yang dilakukannya, apa yang dikomentarinya menyakiti perasaan orang lain.

Orang-orang seperti ini biasanya punya luka batin yang belum tersembuhkan. Biasa saja ia sadar luka tersebut. Tapi, kebanyakan justru mengabaikan dan itulah yang menghambatnya untuk lebih kreatif dan hidup lebih positif.

Saya sendiri masih menyimpan perasaan-perasaan seperti itu.

Siapa sih yang enggak iri melihat teman sendiri yang followersnya lebih sedikit, tulisannya lebih acakadut, foto-fotonya yang biasa aja justru mendapatkan job dan ajakan fam trip lebih banyak? Hahahaha, coba tag saya di Instagram kalau kamu merasa seperti ini juga.

Bagaimana cara saya mengelola perasaan seperti itu. Ya, kalau saya sih balik lagi ke cara pandang saya dan keyakinan saya tentang alur rezeki.

Saya merasa bahwa setiap orang punya rezekinya masing-masing. Selain itu juga saya berusaha untuk selalu bersyukur dan berusaha untuk lebih baik dari mereka. Artiya, melihat hal tersebut saya ubah menjadi hal yang memotivasi saya agar bisa memberikan yang terbaik agar bisa mengupgrade diri saya jadi lebih baik.

Intinya pasrah, tawakal dan tetap berusaha sebaik mungkin.

Lalu gimana kalau ternyata perasaan negatif tersebut masih meliputi hati kita?

Dalam posisi seperti ini kamu butuh bantuan orang lain. Kamu perlu sosok yang bisa membuka hambatan-hambatan yang kamu alami dan menunjukkan potensi diri kamu yang sebenarnya.

Supaya sikap dan respon kamu terhadap orang lain tidak selalu julid.

Nah, inilah yang dilakukan Access Consciousness untuk membantu membuka pikiran kita untuk menyelesaikannya dengan lingkungan. Ini yang bakal bikin kamu tetap adem kalau lagi liat stories teman lagi jalan-jalan cantik keliling Nusantara apalagi diajakin famtrip ke luar negeri.

access bars facilitator ayu
Mbak Ayu / pic by onosembunglango

Kebetulan saya ketemu dengan salah satu fasilitator Access Bars Indonesia yang tidak banyak mukim di Jakarta. Namanya mbak Ayu. Mbak Ayu banyak bercerita bagaimana dia membantu keluarga dan teman-temannya untuk menemukan kembali jati dirinya.

Bahkan beberapa diantaranya ada yang punya keluhan sakit punggung, sakit pinggang dan keluhan-keluhan lainnya yang setelah ditelusuri ternyata berasal dari energi negatif yang tersimpan selama bertahun-tahun di dalam tubuh.

Mbak Ayu bertutur bahwa tubuh manusia itu sangat canggih. Tubuh bahkan kerap kali memberikan sinyal ketika akan sakit, ketika ada benda asing seperti respon bersin terhadap debu.

access bars facilitator ayu
Peserta yang sudah mengikuti kelas Access Bars Indonesia bareng mbak Ayu / pic by onosembunglango

Sayangnya sinya-sinyal inilah yang terkadang diabaikan begitu saja. Padahal, jika kita bisa mengelolanya dengan baik, justru dapat membantu kita untuk membuka hambatan dan melejitkan potensi yang ada.

Terapi yang dilakukan mbak Ayu berkisar selama 90 menit. Dilakukan dengan dua cara yaitu verbal dan non verbal. Tahap non verbal inilah yang akan dilakukan sentuhan terhadap titik-titik di kepala yang mampu melepaskan hambatan dan membuka getaran elektromagnetik yang terkunci di 32 topik kehidupan.

Keluarga Ayu sendiri merupakan salah satu survivor yang mampu keluar dalam keterpurukan. Ayu malah sempat cerita kerap kali bertengkar dengan suaminya gara-gara tidak bisa mengendalikan emosi dan pikiran negatifnya. Belum lagi dengan beban masa lalu yang masih ditanggung.

access bars facilitator ayu
Contoh sentuhan di kepala / pic by onosembunglango

Dari beberapa teman yang sudah pernah mencoba trial terapi dengan Mbak Ayu merasakan perbedaan. Salah satunya Mbak Agatha Mey yang merasa menjadi lebih sabar dari sebelumnya.

Bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Bisa jadi itulah salah satu cara melepaskan hambatan-hambatan tersebut.

Ngomongin Access The Bars saya jadi ingat dengan film Inside Out. Kalau pernah nonton film ini ada perasaan yang tidak kita akui sehingga membuat kita menjadi stress dan bahkan cenderung selalu negatif. Bisa jadi karena sikap denial terhadap perasaan-perasaan itulah yang akhirnya menjadi penghambat di masa mendatang.

Nah, ada saran bagus nih dari mbak Ani Berta yang pernah mengikuti trial Access The Bars.

“Saran saya, ketika mengikuti kelas ini, pikiran kita luaskan dan berusaha menyerap nalar secara logis bukan ego yang dikedepankan. Agar efeknya lebih maksimal.” imbuhnya.

So, jaman now harusnya seorang blogger, buzzer dan influencer itu justru berkolaborasi bukan saling sikut apalagi saling menyudutkan.

Kalau saya sih lebih suka damai ya. Kalau ada drama-drama seperti itu ya cukup tahu aja dan tidak perlu kita ikut campur apalagi memperkeruh keadaan.

Balik lagi ke pertanyaan “benarkah jadi influencer lebih bahagia?” itu hanya mereka yang bisa menjawab. Karena ada juga influencer yang pura-pura bahagia hahahahaha.

By the way, kalau mau tahu potensi kamu lebih jauh dan terapi untuk mengenali apa yang sebetulnya menghambat diri kamu sehingga merasa kurang maksimal dibandingkan dengan orang lain, bisa loh konsultasi, terapi atau mengikuti kelas yang difasilitasi oleh mbak Ayu.

Kontaknya di Ayu – ( 085945124626 )
Instagramnya @komangayutrysnawati (Certified Bars Facilitators & Money Management Specialist)

8 thoughts on “Benarkah Jadi Influencer Lebih Bahagia?”

  1. Keren Bang Zul.
    Sabar, tawakal dan terus berkarya jadi respon paling ampuh untuk tetap maju.
    Btw, ane jadi interest dengan terapi dari Mbak Ayu, seperti yang agan ceriterakan disini. Mudahn-mudahan bisa ikutan – setelah gajian dari Om G.. he..

    Thank bang Zul, untuk tips-tipsnya yang keren.

    Reply
  2. Healing memang diciptakan tubuh sendiri. Namun memendam sesuatu yang buruk itu juga bad influencer hampir tak terlihat dan tersadari.

    Choice your …

    Weip?

    Reply
    • Nah itu mas, klo denial dengan perasaan hati kita bisa jadi penyakit lama-lama hahahaha,,, kudu puasa sosmed sebulan penuh deh klo mau healing dari Instagram hahaha

  3. Fake it till you make it, mas… Saya siy percaya bgt ama kata-kata itu.

    Gak masalah pura-pura bahagia tapi teruslah berusaha sampai benar-benar bahagia.

    Karena bahagia berasal dari dalam diri sendiri dan tidak tergantung pada orang lain.

    Deal? Roti Nogat lahhhh yuksss kalau belum deal. Hahaha

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.