Kisah Perempuan Heroik di Tengah Pandemi

Tidak ada yang pernah menyangka bahwa sosok dibalik kemudi ambulan selama ini adalah seorang perempuan seperti Ika Dewi Maharani. Usianya masih muda, 27 tahun. Ketika pandemi merebak di awal Maret 2020 di Indonesia, Ika langsung terpanggil berangkat ke Jakarta saat pintu dibuka memanggil relawan dari seluruh pelosok daerah. 

Ika Dewi Maharani

Perempuan asal Halmahera Barat ini menjadi satu-satunya relawan perempuan yang punya latar belakang sebagai perawat sekaligus menjadi pengemudi ambulan. Ialah yang berada di balik kemudi ambulan khusus covid19 di Jakarta dan sekitarnya. Membantu gugus tugas pecepatan penanganan Covid19 selama masa pandemi.

***

Sampai saat ini, setelah hampir 9 bulan, Ika tak pernah bertemu dan bertatap muka langsung dengan ibu dan anak semata wayangnya demi menolong pasien covid19 dengan gejala ringan dan sedang.

“Saya merasa terpanggil saja karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan membantu garda terdepan dalam menghadapi pandemi” begitu tuturnya.

Semula ibundanya menolak jika Ika nekat ke Jakarta. Namun, Ika bergeming. Dia pun mencoba memberikan pemahaman kepada ibunya bahwa banyak orang yang membutuhkan tenaga dan bantuannya.

Ika juga menjelaskan bahwa saat bertugas, dia akan dilengkapi dengan berbagai alat pelindung serta sejumlah SOP yang ketat. Sehingga meminimalisasi penularan.

Beruntung setelah diberikan penjelasan serta niat baiknya mengabdi kepada negara, ibunya merestui keinginan anaknya.

Ika berkisah ternyata sosok Ibunyalah yang sebenarnya sejak awal mendorong Ika menjadi perawat.

“Kalau jadi perawat itu bukan hanya dapat gaji, tapi juga bisa membantu orang sehingga kamu bisa mendapatkan pahala di akhirat nanti” kenang Ika.

Ada keinginan yang sebenarnya dipendam oleh Ika. Yaitu menjadi seorang dokter. Namun, karena kondisi keuangan keluarga belum memadai, Ika tetap memilih untuk mengabdikan diri dalam sebagai tenaga kesehatan. Toh jadi perawat pun sama-sama membantu orang lain, ujarnya.

Perjalanan Ika Berangkat ke Jakarta 

Saat itu Ika baru saja menyelesaikan studi S1-nya di Surabaya. Hanya tinggal menunggu wisuda dan beberapa revisi yang sedang dikerjakannya. 

Perempuan yang mengenyam pendidikan perawat di Sekolah Keperawatan RS Husada Jakarta ini tetap merasa bahwa dirinya harus berangkat ke Jakarta. Saat itu ia mendapatkan informasi dari rekannya bahwa BNPB membutuhkan tenaga perawat yang bisa menyetir.

Dengan modal keterampilan menyetir serta latar belakangnya sebagai perawat itulah yang akhirnya membuat Ika berlabuh di Jakarta, sejak April 2020 silam. Kini Ika tinggal di mes Rumah Sakit UI Depok. 

Ika saat bertugas (dok.Ika Dewi Maharani)

Ika bertugas selama 12 jam antara pukul sembilan pagi sampai dengan sembilan malam. Sistem kerja Ika pun dibagi per shift. Satu hari off dan satu hari on. Namun, jika kondisinya sedang membutuhkan banyak tenaga, kadang Ika bisa bertugas dua hari tanpa jeda. Belum lagi jika harus bekerja overtime demi melayani pasien yang membutuhkan.  

Semua kendala dan kesulitan itu tetap dijalani oleh Ika dengan ikhlas tanpa keluh kesah. Bagaimanapun, tekad Ika sudah bulat. Selama negara membutuhkan, Ika tidak akan pernah berhenti mengabdi meskipun risikonya sangat besar. Bahkan Ika menyaksikan sendiri beberapa rekan kerjanya terpapar, hingga ada juga yang sampai berpulang.

Risiko yang Dihadapi Tenaga Kesehatan Selama Pandemi

Hingga pertengahan Desember 2020, menurut catatan Ikatan Dokter Indonesia sudah ada 202 dokter yang meninggal dunia akibat covid19. Termasuk beberapa diantaranya kelelahan bekerja karena beban kerja menjadi bertambah.

Hal tersebut yang sehari-hari bukan hanya dihadapi oleh para dokter tetapi juga tenaga kesehatan lain dan perawat seperti Ika yang langsung turun ke lapangan.

Dok @kawalcovid19.id

Kondisi tersebut diperparah dengan angka positif yang merangkak naik dari bulan ke bulan. Hingga Desember 2020 tercatat kenaikan yang cukup tinggi dari bulan sebelumnya seperti dikutip dari laporan Instagram @kawalcovid19.id.

Inilah yang akhirnya harus dihadapi Ika sehari-hari. Ika berharap sebenarnya pandemi ini akan berakhir atau minimal mereda sehingga ia bisa kembali lagi berkumpul bersama keluarga. Tetapi, melihat tren yang semakin meningkat, Ika sudah bersiap dan tetap ingin berada di garda terdepan.

“Saya berharap masyarakat bisa melaksanakan protokol kesehatan, tidak berkerumun atau berkumpul dan tetap memakai masker jika terpaksa harus keluar rumah” tuturnya.

Dengan adanya libur akhir tahun nampaknya akan menjadi tantangan terberat. Menurut catatan Pemerintah DKI Jakarta per 25 Desember 2020, 6.984 tempat tidur isolasi yang tersedia di jakarta sudah terisi sebanyak 84 persen. Angka itupun terus menerus naik dari hari ke hari.

Bukan hanya Ika, tetapi Rumah Sakit kini harus bekerja ekstra keras bagaimana caranya agar pelayanan kesehatan tetap bisa berjalan sembari menangani pasien-pasien yang terinfeksi covid19. 

Penanganan pasien yang terinfeksi ini jelas berbeda dengan pasien biasa, sehingga kini rata-rata rumah sakit besar bahkan wisma atlet pun menolak jika pasien yang datang masih bisa ditangani di rumah atau melakukan isolasi mandiri demi menjaga ketersediaan tempat tidur untuk mereka yang benar-benar membutuhkan.

Melihat beberapa kondisi tersebut mungkin akan membuat Ika harus lebih lama berada di Jakarta. Lambat laun Ika kini mulai terbiasa dengan keseharian sebagai petugas medis yang harus menggunakan APD selama bertugas.

Rela “Puasa” Setiap Kali Bertugas

“Mau tidak mau saya akhirnya jadi puasa setiap kali bertugas. Enam jam tidak bisa makan, minum dan berada di dalam APD” tutur Ika.

Membayangkan Ika selalu menggunakan APD tentu saja sulit. Terlebih, APD tingkat tiga ini adalah APD dengan sistem keamanan paling tinggi yang memang menjadi standar yang harus digunakan oleh dokter, petugas medis di rumah sakit, serta petugas ambulan.

Ika sedang menggunakan APD (dok. Ika Dewi Maharani)

APD tingkat tiga digunakan jika tingkat kecurigaan pasien terkontaminasi covid19 sangat tinggi. Perlengkapan yang digunakan cukup banyak mulai dari masker N95 atau sejenisnya, hazmat khusus, sepatu bot, pelindung mata atau face shield, sarung tangan bedah karet, penutup kepala serta apron.

APD seperti itu jika digunakan oleh orang awam akan membuat rasa tidak nyaman. Bayangkan jika harus digunakan selama enam jam lebih dan tidak boleh dilepas? 

Tidak berhenti sampai di situ saja. Ika juga harus mandi dan keramas setiap selesai mengantar pasien. 

“Ya begitulah protokol kesehatan yang harus dilakukan. Jadi, sehari bisa keramas sampai tiga kali” cerita Ika. 

Untuk melepas rindu Ika selalu melakukan video call dengan menghubungi anak semata wayangnya yang diasuh oleh Ibunya di kampung halaman.

“Sudah seperti absen saja sih kak. Setiap hari pasti saya selalu video call sama anak saya, termasuk ibu” kisah Ika. 

Itulah yang setiap hari dilakukan Ika selama 9 bulan bertugas. Harus menahan rindu bertemu anak dan orang tua demi tugasnya.

Suka Duka Pengemudi Ambulan Khusus Covid19

Tugas Ika pun tidak mudah. Apalagi ambulan yang dikendarai berbeda dengan ambulan biasanya. Ika bercerita bahwa ambulan yang dikendarainya, sangat berat setirnya karena belum menggunakan power steering.

Dengan kondisi seperti itu Ika harus menembus kemacetan Jakarta dan “bertarung” dengan para pengemudi-pengemudi egois yang tidak memberikan prioritas kepada ambulan.

Ika sedang bertugas menjemput pasien (dok. Ika Dewi Maharani)

“Suka kesal juga sih kak sama mereka yang tidak memberikan jalan. Tapi, mau bagaimana lagi ya, karena saya membawa pasien jadi keselamatan menjadi yang utama” tutur Ika. 

Belum lagi dengan ruang pengemudi dan ruang pasien yang disekat sehingga praktis ia hanya bisa memantau kondisi bagian belakang kendaraan dari kaca spion kanan dan kiri saja.

“Kalau ambulan biasa itu ada akses dari depan ke belakang. Khusus untuk ambulan yang membawa pasien covid19 ini tidak ada akses kak. Jadi, spion di tengah itu tidak bisa difungsikan. Otomatis memang harus hati-hati juga membawanya” kata Ika.

Ika biasanya sudah dibekali surat di mana pasien dijemput dan kemana pasien itu diantarkan. Meski sudah lama studi di Jakarta, kadang-kadang ia juga masih belum hafal jalan. Wal hasil hanya GPS yang bisa diandalkannya untuk memandunya saat mengantarkan pasien.

Kesulitan lain adalah akses ke rumah pasien yang kadang-kadang tidak sesuai dengan yang diceritakan oleh keluarga pasien yang dijemput. Mengingat ukuran bodi ambulan yang lebar, sehingga tidak semua jalan di Jakarta bisa dilalui dengan mudah. Belum lagi dengan lalu lalang sepeda motor yang juga menjadi kendala buat Ika saat menjemput pasiennya.  

Satu kisah yang membuat Ika juga merasa terenyuh adalah saat menjemput pasien positif yang usianya baru empat bulan. Bayi mungil tersebut harus dijemputnya bersama dengan ibunya tanpa ditemani oleh ayahnya.

Dari berbagai usia dan latar belakang pasien yang pernah dijemputnya, baru itulah pasien termuda yang dijemputnya. Ia sadar dan meyakini bahwa virus ini tidak memandang usia maupun latar belakang. Menajdikan Ika makin bertekad membantu sebanyak-banyaknya selama ia masih mampu.

Di saat masih banyak orang yang kurang peduli dengan protokol kesehatan bahkan mereka yang bepergian dengan modal surat PCR palsu, masih ada sosok seperti Ika yang siap membantu. Mereka, garda kesehatan ini tidak akan melihat bagaimana pasiennya terinfeksi atau acuhnya mereka atau keluarganya terhadap protokol kesehatan, tetap akan dilayani dengan baik oleh Ika dan rekan-rekannya. 

Di saat masih banyak orang yang mendahulukan egonya berliburan di masa pandemi tanpa mengindahkan protokol kesehatan, masih ada Ika yang tetap setia melayani semua pasien terinfeksi, sampai pandemi mereda.

Di saat masih ada preman jalanan dan kemacetan, masih ada Ika yang sabar menembus kemacetan dan mengalah pada mereka yang egois di jalanan demi keselamatan pasien yang dibawanya.

Api harapan kecil Ika tetap terjaga, dan  tidak akan pernah padam. Semoga masyarakat bisa lebih sadar bahwa pandemi ini nyata dan kita bisa melewatinya bersama dengan kerja sama dari semua pihak. 

Itulah yang membuat Ika mendapatkan penghargaan sebagai penerima apresiasi kategori khusus dari Satu Indonesia Awards 2020 sebagai pejuang tanpa pamrih di masa pandemi Covid-19 yang digagas oleh ASTRA.

5 thoughts on “Kisah Perempuan Heroik di Tengah Pandemi”

  1. Luar biasa, bisa menembus kemacetan dengan kendala penguasaan alamat dan trafik, Ika memang sangat berjasa. Inspiratif, Bang!

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.